English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Sejarah SUNDA KELAPA Tempat Lahir Pitung

Rabu, 29 April 2015

Pelabuhan SUNDA KELAPA di masa kini
Pelabuhan Sunda Kelapa, jantung perdagangan kota Betawi
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sunda Kelapa juga merupakan nama dari Jakarta sebelum tahun 1527.

Sunda Kelapa sekitar pertengahan abad ke-20.
Sunda Kelapa adalah nama sebuah pelabuhan dan tempat sekitarnya di Jakarta, Indonesia. Pelabuhan ini terletak di kelurahan Penjaringan, kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.

Meskipun sekarang Sunda Kelapa hanyalah nama salah satu pelabuhan di Jakarta, daerah ini sangat penting karena desa di sekitar pelabuhan Sunda Kelapa adalah cikal-bakal kota Jakarta yang hari jadinya ditetapkan pada tanggal 22 Juni 1527.

Kala itu Kalapa, nama aslinya, merupakan pelabuhan kerajaan Pajajaran yang beribukota di Pakuan (sekarang kota Bogor) yang direbut oleh pasukan Demak dan Cirebon. Walaupun hari jadi kota Jakarta baru ditetapkan pada abad ke-16, sejarah Sunda Kelapa sudah dimulai jauh lebih awal, yaitu pada zaman pendahulu Pajajaran, yaitu kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Tarumanagara pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera.

Pelabuhan Sunda Kelapa zaman kekuasaan VOC Hindia Belanda
Pelabuhan SUNDA KELAPA, era kekuasaan VOC
SEJARAH
Pelabuhan Kalapa telah dikenal semenjak abad ke-12 dan kala itu merupakan pelabuhan terpenting Pajajaran. Kemudian pada masa masuknya Islam dan para penjajah Eropa, Kalapa diperebutkan antara kerajaan-kerajaan Nusantara dan Eropa. Akhirnya Belanda berhasil menguasainya cukup lama sampai lebih dari 300 tahun. Para penakluk ini mengganti nama pelabuhan Kalapa dan daerah sekitarnya. Namun pada awal tahun 1970-an, nama kuno Kalapa kembali digunakan sebagai nama resmi pelabuhan tua ini dalam bentuk "Sunda Kelapa".

MASA HINDU-BUDDHA
Menurut penulis Portugis Tomé Pires, Kalapa adalah pelabuhan terbesar di Jawa Barat, selain Sunda (Banten), Pontang, Cigede, Tamgara dan Cimanuk yang juga dimiliki Pajajaran.[1] Sunda Kelapa yang dalam teks ini disebut Kalapa dianggap pelabuhan yang terpenting karena dapat ditempuh dari ibu kota kerajaan yang disebut dengan nama Dayo (dalam bahasa Sunda modern: dayeuh yang berarti kota) dalam tempo dua hari.[2]

Pelabuhan ini telah dipakai sejak zaman Tarumanagara dan diperkirakan sudah ada sejak abad ke-5 dan saat itu disebut Sundapura. Pada abad ke-12, pelabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk milik Kerajaan Sunda, yang memiliki ibukota di Pakuan Pajajaran atau Pajajaran yang saat ini menjadi Kota Bogor. Kapal-kapal asing yang berasal dari Tiongkok, Jepang, India Selatan, dan Timur Tengah sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi komoditas dagang saat itu.

MASA KEKUASAAN ISLAM
Pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, para penjelajah Eropa mulai berlayar mengunjungi sudut-sudut dunia. Bangsa Portugis berlayar ke Asia dan pada tahun 1511, mereka bahkan bisa merebut kota pelabuhan Malaka, di Semenanjung Malaka. Malaka dijadikan basis untuk penjelajahan lebih lanjut di Asia Tenggara dan Asia Timur.

Tome Pires, salah seorang penjelajah Portugis, mengunjungi pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Pulau Jawa antara tahun 1512 dan 1515. Ia menggambarkan bahwa pelabuhan Sunda Kelapa ramai disinggahi pedagang-pedagang dan pelaut dari luar seperti dari Sumatra, Malaka, Sulawesi Selatan, Jawa dan Madura. Menurut laporan tersebut, di Sunda Kelapa banyak diperdagangkan lada, beras, asam, hewan potong, emas, sayuran serta buah-buahan.

Laporan Portugis menjelaskan bahwa Sunda Kelapa terbujur sepanjang satu atau dua kilometer di atas potongan-potongan tanah sempit yang dibersihkan di kedua tepi sungai Ciliwung. Tempat ini ada di dekat muaranya yang terletak di teluk yang terlindung oleh beberapa buah pulau. Sungainya memungkinkan untuk dimasuki 10 kapal dagang yang masing-masing memiliki kapasitas sekitar 100 ton. Kapal-kapal tersebut umumnya dimiliki oleh orang-orang Melayu, Jepang dan Tionghoa. Di samping itu ada pula kapal-kapal dari daerah yang sekarang disebut Indonesia Timur. Sementara itu kapal-kapal Portugis dari tipe kecil yang memiliki kapasitas muat antara 500 - 1.000 ton harus berlabuh di depan pantai. Tome Pires juga menyatakan bahwa barang-barang komoditas dagang Sunda diangkut dengan lanchara, yaitu semacam kapal yang muatannya sampai kurang lebih 150 ton.[3]

Lalu pada tahun 1522 Gubernur Alfonso d'Albuquerque yang berkedudukan di Malaka mengutus Henrique Leme untuk menghadiri undangan raja Sunda untuk membangun benteng keamanan di Sunda Kalapa untuk melawan orang-orang Cirebon yang bersifat ekspansif. Sementara itu kerajaan Demak sudah menjadi pusat kekuatan politik Islam. Orang-orang Muslim ini pada awalnya adalah pendatang dari Jawa dan merupakan orang-orang Jawa keturunan Arab.

Maka pada tanggal 21 Agustus 1522 dibuatlah suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda Kelapa, sedangkan Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang diperlukan. Raja Sunda akan memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada sebagai tanda persahabatan. Sebuah batu peringatan atau padraõ dibuat untuk memperingati peristiwa itu. Padrao dimaksud disebut sebagai layang salaka domas dalam cerita rakya Sunda Mundinglaya Dikusumah. Padraõ itu ditemukan kembali pada tahun 1918 di sudut Prinsenstraat (Jalan Cengkeh) dan Groenestraat (Jalan Nelayan Timur) di Jakarta.

Kerajaan Demak menganggap perjanjian persahabatan Sunda-Portugal tersebut sebagai sebuah provokasi dan suatu ancaman baginya. Lantas Demak menugaskan Fatahillah untuk mengusir Portugis sekaligus merebut kota ini. Maka pada tanggal 22 Juni 1527, pasukan gabungan Demak-Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah (Faletehan) merebut Sunda Kelapa. Tragedi tanggal 22 Juni inilah yang hingga kini selalu dirayakan sebagai hari jadi kota Jakarta. Sejak saat itu nama Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta. Nama ini biasanya diterjemahkan sebagai kota kemenangan atau kota kejayaan, namun sejatinya artinya ialah "kemenangan yang diraih oleh sebuah perbuatan atau usaha" dari bahasa Sanskerta, jayakaṛta (Dewanagari जयकृत).[4]

MASA KOLONIALISME BELANDA
Kekuasaan Demak di Jayakarta tidak berlangsung lama. Pada akhir abad ke-16, bangsa Belanda mulai menjelajahi dunia dan mencari jalan ke timur. Mereka menugaskan Cornelis de Houtman untuk berlayar ke daerah yang sekarang disebut Indonesia. Eskspedisinya walaupun biayanya tinggi dianggap berhasil dan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) didirikan. Dalam mencari rempah-rempah di Asia Tenggara, mereka memerlukan basis pula. Maka dalam perkembangan selanjutnya pada tanggal 30 Mei 1619, Jayakarta direbut Belanda di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen yang sekaligus memusnahkannya. Di atas puing-puing Jayakarta didirikan sebuah kota baru. J.P. Coen pada awalnya ingin menamai kota ini Nieuw Hoorn (Hoorn Baru), sesuai kota asalnya Hoorn di Belanda, tetapi akhirnya dipilih nama Batavia. Nama ini adalah nama sebuah suku Keltik yang pernah tinggal di wilayah negeri Belanda dewasa ini pada zaman Romawi.
Menurut catatan sejarah, pelabuhan Sunda Kelapa pada masa awal ini dibangun dengan kanal sepanjang 810 meter. Pada tahun 1817, pemerintah Belanda memperbesarnya menjadi 1.825 meter. Setelah zaman kemerdekaan, dilakukan rehabilitasi sehingga pelabuhan ini memiliki kanal sepanjang 3.250 meter yang dapat menampung 70 perahu layar dengan sistem susun sirih.

ABAD KE-19
Sekitar tahun 1859, Sunda Kalapa sudah tidak seramai masa-masa sebelumnya. Akibat pendangkalan, kapal-kapal tidak lagi dapat bersandar di dekat pelabuhan sehingga barang-barang dari tengah laut harus diangkut dengan perahu-perahu. Kota Batavia saat itu sebenarnya sedang mengalami percepatan dan sentuhan modern (modernisasi), apalagi sejak dibukanya Terusan Suez pada 1869 yang mempersingkat jarak tempuh berkat kemampuan kapal-kapal uap yang lebih laju meningkatkan arus pelayaran antar samudera. Selain itu Batavia juga bersaing dengan Singapura yang dibangun Raffles sekitar tahun 1819.
Maka dibangunlah pelabuhan samudera Tanjung Priok, yang jaraknya sekitar 15 km ke timur dari Sunda Kelapa untuk menggantikannya. Hampir bersamaan dengan itu dibangun jalan kereta api pertama (1873) antara Batavia - Buitenzorg (Bogor). Empat tahun sebelumnya (1869) muncul trem berkuda yang ditarik empat ekor kuda, yang diberi besi di bagian mulutnya.
Selain itu pada pertengahan abad ke-19 seluruh kawasan sekitar Menara Syahbandar yang ditinggali para elit Belanda dan Eropa menjadi tidak sehat. Dan segera sesudah wilayah sekeliling Batavia bebas dari ancaman binatang buas dan gerombolan budak pelarian, banyak orang Sunda Kalapa berpindah ke wilayah selatan.

ABAD KE-20
Pada masa pendudukan oleh bala tentara Dai Nippon yang mulai pada tahun 1942, Batavia diubah namanya menjadi Jakarta. Setelah bala tentara Dai Nippon keluar pada tahun 1945, nama ini tetap dipakai oleh Belanda yang ingin menguasai kembali Indonesia. Kemudian pada masa Orde Baru, nama Sunda Kelapa dipakai kembali. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No.D.IV a.4/3/74 tanggal 6 Maret 1974, nama Sunda Kelapa dipakai lagi secara resmi sebagai nama pelabuhan. Pelabuhan ini juga biasa disebut Pasar Ikan karena di situ terdapat pasar ikan yang besar.

TABAYYUN Bedakan FAKTA Sejarah dengan Mitos Legenda

TABAYYUN CARA MENGHINDARKAN DIRI DARI BAHAYA FITNAH

Tabayyun itu artinya mencari kejelasan fakta kebenaran, tidak berdasarkan prasangka. Karena prasangka itu hanyalah DUSTA semata. Sudah jarang orang sekarang berTABAYYUN tapi mereka hanya mendahulukan prasangka, karena kotornya hati atau karena jarangnya dia mendahulukan berpikir baik justru terhadap dirinya sendiri dan saudaranya.

Itulah gunanya kita diperintahkan menyelidiki kebenaran BERTABAYYUN baiksebagai seorang sejarawan, akademisi, orang yg berpendidikan atau orang yang berakala dan juga sebagai seorang MUSLIM dan orang yang mengaku dirinya BERIMAN.

Jika kita menuduhkan sesuatu pada satu cerita berdasarkan prasangka kita, maka sesungguhnya kita adalah termasuk orang yang menyukai DUSTA dan FITNAH. Bagaimana kita bisa selamat dari malapetaka fitnah itu sendiri, jika kita sendiri lebih mendahulukan dusta dan prasangka? Makanya kenapa diperlukan berprasangka baik dan setelah itu bertabayyun. ALhamdulillah, aku bersyukur diberi nama SIDIK atau SELIDIK, yang menyebabkan saya lebih suka meneliti dan menanyakan langsung ke narasumber daripada berprasangka buruk kepada saudaraku sendiri, kepada istriku, kepada ibundaku, bahkan kepada anakku sendiri. Karena saya tahu, bahwa setan itu adalah musuh yang nyata. Jadi tak akan suka jika kita manusia mempunyai kedaiamain dari setiap kehidupan kita sehari-hari, baik dalam berkomunikasi maupun dalam hal lainnya.

Lalu mengapa kita sering jadi korban fitnah? Bisa jadi karena Allah sedang menguji kita, atau karena perbuatan kita sendiri yang lebih suka mendengarkan GOSSIP dan berghibah. Karena di dalam ghibah dan gossip itu kadang ada peluang setan untuk menyebarkan kebencian dan fitnah. Sedangkan kita sudah diingatkan berkali-kali, untuk apalah kita bersilaturrahim jika kita habiskan waktu kita dengan maksiyat ghibah dan gossip, yang nantinya akan berakhir dengan fitnah.

Dan jika fitnah sudah datang ke diri kita atau ke saudara kita, langkah berikutnya adalah berprasangka baik, bukan justru menceritakannya kepada orang lain, tapi bertabayyun atau mencari fakta kebenaran atau menyelidiki kebenaran dan fakta yang sedang jadi gossip itu sendiri.

Setidaknya ada beberapa langkah yang harus dilakukan agar kita terhindar dari kejahatan fitnah itu sendiri, meskipun terkena FITNAH adalah sebuah bentuk ujian atas kesabaran dan integritas kita sebagai muslim, karena fitnah juga datang kepada Rasulullah shalallaahu.aalaihi wassalam sebagai bukti bahwa baginda Rasul pun diserang fitnah justru untuk membuktikan betapa jahatnya orang-orang yang memfitnahnya dan betapa jahatnya perbuatan fitnah, ghibah dan berprasangka buruk atau su'uzhon itu.

Berikut ini yang membebaskan kita dari penyakit hati yang berkaitan dengan fitnah;
1. Jangan suka berghibah atau bergossip
2. Jangan suka berprasangka buruk
3. Dahulukan prasangka baik
4. Bertabayyun
5. Memperbanyak istighfar
6. Bertaubat dari sifat suka bergossip
7. Bertaubat dari sifat suka menyebar fitnah

Berikut ini saya kutipkan artikel tentang tabayyun dari ustadz  ulama dengan dalil-dalil Al-Quran dan Al-Hadits

MENGAPA MESTI TABAYYUN?

Oleh
Ustadz Syaikh Mudrika

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Wahai orang- orang yang beriman, jika ada seorang faasiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian. [al-Hujurât/49:6].

MUQADDIMAH
Kehidupan bermasyarakat tidak lekang dari isu, gosip sampai adu domba antar manusia. Keadaan ini diperkeruh oleh adanya sekelompok masyarakat menjadikan gosip dan `aib serta `aurat (kehormatan) orang lain sebagai komoditas perdagangan untuk meraup keuntungan dunia. Bahkan untuk tujuan popularitas ada yang menjual gosip yang menyangkut diri dan keluarganya.

Perilaku gosip yang telah menjadi penyakit masyarakat ini tidak disadari oleh kebanyakan pecandunya, bahwasanya menyebarluaskan gosip itu ibarat telah saling memakan daging bangkai saudaranya sendiri. Allah Ta'ala menggambarkan demikian itu ketika melarang kaum beriman saling ghibah (menggunjing), sebagaimana tersebut dalam al-Qur`ân:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa. Jangan pula kalian memata-matai dan saling menggunjing. Apakah di antara kalian ada yang suka menyantap daging bangkai saudaranya sendiri? Sudah barang tentu kalian jijik padanya. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha menerima taubat dan Maha Penyayang. [al-Hujurât/49:12].

Dari penyakit ini, syahwat akan meluas dan berkembang penyakit lain yang tidak kalah bahayanya, di antaranya kebiasaan berbohong, memutuskan silaturrahim, melakukan hajr (memboikot, mendiamkan), at-tahazzub (kekelompokan), al-walâ` dan al-barâ` (suka dan benci) yang tidak sesuai tempatnya, bahkan sampai bisa sampai pada tahapan saling membunuh. Na'ûdzu billâhi min dzâlik.

Penyakit menggunjing ini tidak akan terobati selama Al-Qur`ân hanya diperlakukan sekadar ilmu pengetahuan yang dibaca dan dikhutbahkan di mimbar- mimbar, dan tidak menjadikannya sebagai terapi. Padahal Allah Ta`ala berfirman:

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

Dan kami turunkan Al-Qur`ân sebagai obat dan rahmah bagi kaum beriman. [al-Isrâ`/17:82].

Allah Ta`ala juga berfirman:

إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ

Sesungguhnya Al-Qur`ân ini membimbing ke jalan yang paling lurus. [al-Isrâ`/17:9]

Terapi dari Al-Qur`ân dengan satu kata inti, yaitu tabayyun. Allah Ta'ala telah menyebutkannya dalam surat al-Hujurât/49 ayat 6 ini, dan insyaa Allaah, akan dilakukan pembahasan yang ditinjau dari tiga sisi. Wallâhul- Muwaffiq.

SABABUN- NUZÛL
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr menyatakan, ayat ini dilatarbelakangi oleh suatu kasus sebagaimana diriwayatkan dari banyak jalur. Yang terbaik, ialah dari Imam Ahmad dalam Musnad-nya, dari jalur kepala suku Banil-Mushthaliq, yaitu al-Hârits ibnu Dhirâr al-Khuzâ`i, ayah dari Juwairiyah bintil-Hârits Ummil-Mu`minîn Radhiyallahu anhuma.

Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Kami diberitahu oleh Muhammad ibnu Sâbiq, beliau berkata: aku diberitahu 'Îsâ ibnu Dînâr, beliau berkata: aku diberitahu oleh ayahku, bahwa beliau mendengar langsung penuturan al-Hârits ibnu Dhirâr al-Khuzâ`i Radhiyallahu anhu:

Al-Hârits mengatakan: “Aku mendatangi Rasûlillâh Shalallahu ‘alaihi wa salam . Beliau mengajakku ke dalam Islam, akupun menyetujuinya. Aku katakan: 'Wahai, Rasûlullâh. Aku akan pulang untuk mengajak mereka berislam, juga berzakat. Siapa yang menerima, aku kumpulkan zakatnya, dan silahkan kirim utusan kepadaku pada saat ini dan itu, agar membawa zakat yang telah kukumpulkan itu kepadamu'.”

Setelah ia mengumpulkan zakat tersebut dari orang yang menerima dakwahnya, dan sampailah pula pada tempo yang diinginkan Rasûlillâh Shalallahu ‘alaihi wa salam , ternyata utusan tersebut menahan diri dan tidak datang. Sementara itu al-Hârits mengira bahwa Allah dan Rasul-Nya marah, maka ia pun segera mengumpulkan kaumnya yang kaya dan mengumumkan: “Dulu Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam pernah menentukan waktu untuk memerintahkan utusannya agar mengambil zakat yang ada padaku, sedangkan menyelisihi janji bukanlah kebiasaan Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam. Dan tidak mungkin utusannya ditahan, kecuali karena adanya kemarahan Allah dan Rasûl-Nya. Maka dari itu, mari kita mendatangi Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam”.

Sebenarnya Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam telah mengutus al-Walîd ibnu `Uqbah kepada al-Hârits untuk mengambil zakat tersebut, tetapi di tengah jalan, al-Walîd ketakutan, sehingga ia pun kembalilah kepada Rasûlillâh Shalallahu ‘alaihi wa salam sembari mengatakan: “Wahai, Rasûlallâh! Al-Hârits menolak menyerahkan zakatnya, bahkan hendak membunuhku," maka marahlah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengutus pasukan kepada al-Hârits. Sementara itu, al-Hârits telah berangkat bersama kaumnya.

Tatkala pasukan berangkat dan meninggalkan Madinah, bertemulah al-Hârits dengan mereka, kemudian terjadilah dialog:

Pasukan itu berkata: “Ini dia al-Hârits”.
Setelah al-Hârits mengenali mereka, ia pun berkata: “Kepada siapa kalian diutus?"
Mereka menjawab: “Kepadamu”.
Dia bertanya: “Untuk apa?”

Mereka menjawab: “Sesungguhnya Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam pernah mengutus al-Walîd ibnu `Uqbah, dan ia melaporkan bahwa engkau menolak membayar zakat, bahkan ingin membunuhnya”.

Al-Hârits menyahut: “Tidak benar itu. Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan sesungguhnya; aku tidak pernah melihatnya sama sekali, apalagi datang kepadaku”.

Setelah al-Hârits menghadap, Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam bertanya: “(Benarkah) engkau menolak membayar zakat dan bahkan ingin membunuh utusanku?”

Al-Hârits menjawab: “Itu tidak benar. Demi Allah yang mengutusmu dengan sesungguhnya, aku tidak pernah melihatnya dan tidak pula datang kepadaku. Juga, tidaklah aku berangkat kecuali setelah nyata ketidakhadiran utusanmu. Aku justru khawatir jika ia tidak datang karena adanya kemarahan Allah dan Rasul-Nya yang lalu," maka turunlah ayat dalam surat al-Hujurât: [1]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا

TAFSIR PER KALIMAT
1. يا أيّها الّذين آمنوا (wahai orang- orang yang beriman).
Ayat ini diawali dengan seruan kepada ahlul-îmân. Disamping kasus ini terjadi di antara kaum beriman seperti yang kami paparkan di atas, juga karena berkaitan dengan perintah yang tidak sah dilaksanakan kecuali oleh orang yang beriman. Ayat ini, sekaligus menunjukkan bahwa penyelewengan terhadap perintah ini dapat mengurangi kadar keimanan seseorang. Oleh karena itu, mari kita mempersiapkan telinga dan hati, seraya memohon kepada Allah agar melapangkan dada kita dengan nasihat ayat ini.

2. إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا (jika ada orang fâsiq yang datang kepadamu dengan membawa berita penting).
An-Naba`, artinya isu (kabar) penting. Adapun orang faasiq, ialah pelaku fusuuq, yaitu orang yang keluar dari ketaatan kepada Allah. Setiap kemaksiatan adalah fusuuq. Karena itu, faasiq diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu fâsiq besar dan fâsiq kecil.

Fâsiq besar, identik dengan kufur besar, yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Dinyatakan oleh Allah Ta'ala dalam banyak ayat al-Qur`ân:

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Sesungguhnya orang-orang munaafik itulah orang-orang yang fâsiq. [at-Taubah/9:67].

Kita juga mengetahui, kemunafikan kaum munafikin pada zaman Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam yang sering disebutkan dalam Al-Qur`ân ialah kemunafikan i'tiqâdi (besar). Begitu pula tentang Fir'aun dan para pengikutnya:

إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا فَاسِقِينَ

Sesungguhnya mereka adalah kaum yang fâsiq. [al-Qashash/28:32].

Kefâsikan kecil, identik dengan dosa besar yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Seperti berbohong, mengadu domba, memutuskan perkara tanpa melakukan tabayyun (penelitian terhadap kebenaran beritanya) terlebih dahulu. Hal ini banyak pula disebutkan Allah, di antaranya pada ayat-ayat berikut.

وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ

Dan janganlah pencatat maupun saksi (hutang-piutang) itu mencelakakan. Dan jika kalian lakukan itu, maka itu menjerumuskan kalian dalam kefasikan. [al-Baqarah/2:282].

فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ

Maka barang siapa yang telah menentukan pada bulan- bulan tersebut untuk berhajji, maka janganlah rafats, jangan pula melakukan fusûq, jangan pula berdebat pada saat berhaji. [al-Baqarah/2:197].

Dalam menafsirkan kata (fusûq) dalam ayat di atas, para ulama mengatakan, yaitu perbuatan maksiat [2]. Dan kefasikan yang dilakukan oleh shahâbi (sahabat) dalam sababun-nuzûl ayat ini, yaitu kebohongannya dalam menyampaikan berita.

Imam Al-Qurthubi[3] berkata: "Al-Walîd dinyatakan fâsiq, artinya berbohong”.[4]

Sehingga, dampak dari indikasi fâsiq menunjukkan bahwa apabila kebohongan saja yang merupakan kefasikan kecil sudah mengharuskan kita mewaspadai serta perlu untuk tabayyun, maka apalagi jika perbuatan itu merupakan fâsiq besar.

3. فتبيّنوا (maka telitilah dulu).
Ada dua qirâ`ah pada kalimat ini. Jumhûr al-Qurrâ membacanya "fatabayyanû", sedangkan al-Kissâ`i dan para qurrâ` Madinah membacanya "fatatsabbatû".[5] Keduanya benar dan memiliki makna yang sama.[6]

Tentang kalimat ini, ath-Thabari memaknainya: “Endapkanlah dulu sampai kalian mengetahui kebenarannya, jangan terburu-buru menerimanya ….”[7]

Syaikh al-Jazâ`iri mengatakan, artinya, telitilah kembali sebelum kalian berkata, berbuat atau memvonis.[8]

4. أن تصيبوا قوما بجهالة (agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan).

Keterkaitan makna antara ketidaktahuan dengan kesalahan sangat erat, sehingga kata "jahâlah" dimaknai kesalahan.

Imam Al-Qurthubi mengatakan, "bi jahâlah," maksudnya ialah secara salah.[9] Adapun kesalahan yang terus dibela serta dicari-cari pembenarannya dengan berbagai dalih, maka demikian ini merupakan sifat dan kebiasaan kaum Nashara, sehingga Allah Ta'ala menyebut mereka dengan azh-zhâllîn. Yaitu orang-orang yang tersesat sebagaimana disebutkan dalam suurat al-Fâtihah.

Penjelasan dari satu pihak yang mengadu tanpa tabayyun kepada yang diadukan, dapat menyebabkan keruhnya pandangan kita terhadap seseorang yang asalnya bersih, sehingga kita berburuk sangka kepadanya, enggan bertemu dan bahkan memboikotnya, dan akibat yang ditimbulkannyapun meluas. Jika dalam perdagangan bisa menurunkan omzet, dalam pergaulan menurunkan simpati, dalam dakwah menjadikan ummat tidak mau menerima nasihat dan pelajaran yang disampaikannya, bahkan bisa sampai pada anggapan bahwa semua yang diajarkannya dianggap tidak benar. Jika demikian, maka yang mendapat kerugian ialah ummat.

5. فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ (kemudian kalian menyesal atas perlakuan kalian).
Allah Ta'ala menyebutkan penyesalan ini akan menimpa seseorang yang salah dalam menjatuhkan keputusan karena memandang suatu masalah (perkara) tanpa tabayyun, dan bukan dari orang yang diisukan negatif. Karena yang memvonis ini telah berbuat zhalim. Sedangkan yang tertuduh tanpa bukti, ia berarti mazhlûm (terzhalimi). Padahal Rasûlillâh Shalallahu ‘alaihi wa salam pernah bersabda kepada Mu'adz bin Jabal Radhiyallahu anhu:

وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُوْمِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ

Dan hindarilah doa orang yang terzhalimi. Sesungguhnya tidak ada tabir penghalang antara doa orang yang terzhalimi dengan Allah.[10]

ANTARA KEUMUMAN LAFAZH DAN KEKHUSUSAN SEBAB DALAM AYAT INI
Merupakan kaidah pokok di kalangan ahli tafsir, bahwa:

العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب

(yang menjadi patokan adalah keumuman indikasi lafazhnya, bukan kekhususan sebabnya).[11]

Kaidah ini mengajarkan kepada kita, bahwa dalil-dalil yang berlatar belakang kasus tertentu, tidak hanya berlaku untuk kasus tersebut pada waktu itu saja. Tetapi juga berlaku terhadap kasus sejenis pada masa sesudahnya, bahkan kasus-kasus yang tercakup dalam keumuman lafazh tersebut. Dan tentunya, kasus yang sejenis menempati peringkat utama terhadap pemberlakuan ayat tersebut.

Oleh karena itu, dalam ayat ini terdapat dua pedoman.

1. Kasus khusus, yaitu tentang kebohongan al-Walîd dan sunnah tabayyun dari Rasûlillâh Shalallahu ‘alaihi wa salam. Jika tidak melakukan tabayyun, bisa berakibat vonis murtad, peperangan dan pembunuhan.

2. Indikasi umum yang terkandung dalam dua kata bernada muthlak, yaitu "fâsiq", dan "naba`".

Fâsiq, ini berkaitan dengan kualitas pembawa berita. Dalam istilah ahli hadits disebut "rijâl" atau "sanad". Sedangkan "naba`" yang berarti masalah penting, dan dalam istilah ahli hadits disebut matan (substansi berita).

Pada poin ini, kesalahan sebagian orang ialah menyempitkan makna ayat ini dengan mengatakan, jika yang membawa isu (kabar) tersebut atau bahkan yang memberi vonis tersebut seorang ustadz, maka sudah pasti benar, karena ia (ustadz itu) orang shâlih. Sebaliknya, apabila –ternyata- vonis ustadz tersebut salah, karena berdasarkan persangkaan tanpa tabayyun, apakah kita akan menyematkan pada ustadz tersebut sebagai "fâsiq"?

Tatkala Penulis bertanya tentang hal ini kepada al-'Allâmah Syaikh 'Ali Hasan al-Halabi - hafizhahullâh- beliau menjawab dengan tegas: “Engkau perhatikan sabab nuzûl ayat tersebut. Bukankah turun berkenaan tentang shahâbi (sahabat Nabi)?"

Maksud beliau –hafizhahullâh-, bahwasanya shahâbi sudah tentu 'âdil (legitimate), bahkan ta`dîl (legitimasi) para sahabat dari Allah ialah "radhiyallâhu'anhum waradhû 'anhu". Artinya, Allah telah meridhai mereka, dan mereka pun meridhai-Nya.

Kurang legitimate apa shahâbi? Tetapi Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam tetap menyuruh Khâlid ibnul-Walîd agar melakukan tabayyun atau tatsabbut (cross check), karena pengaduan al-Walîd ini akan berakibat fatal. Kasus ini lebih utama dalam penerapan ayat di atas dari pada keumuman lafazh.

Kesimpulan yang bisa diambil dari ayat ini sebagai berikut.
1. Ayat ini merupakan pelajaran adab bagi orang beriman dalam menghadapi suatu isu atau berita yang belum jelas.

2. Pelaksanaan perintah tabayyun, merupakan ibaadah yang dapat meningkatkan iman. Dan meninggalkan tabayyun dapat mengurangi iman.

3. Kewajiban tabayyun dibebankan kepada orang yang menerima kabar berita dan akan menjatuhkan vonis terhadap pihak yang tertuduh.

4. Dilanggarnya perintah tabayyun, dapat berdampat pada kerusakan hubungan pribadi dan masyarakat.

5. Penyesalan di dunia maupun akhirat akan ditimpakan kepada orang yang menerima isu negatif, menyebarkannya, serta kepada orang yang menjatuhkan vonis tanpa melakukan tabayyun terlebih dahulu.

Demikian, tafsir ringkas ini. Semoga Allah Azza wa Jalla memuliakan kita dengan hidâyatut-taufîq, sehingga kita berlapang dada dengan nasihat ini. Wa âkhiru da'wânâ, 'anil-hamdu lillâhi Rabbil 'âlamîn.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIII/1430H/2009M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta,
Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote

  1. Tafsîr al-Qur`ânil- 'Azhîm, Ibnu Katsiir, Maktabah ash-Shafâ, Kairo, Mesir, Cetakan I, Tahun 1425/2004, (7/248).
  2. Kitâbul-Iimaan, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, hlm 278. Kitab Tauhîd, Dr. Shâlih al-Fauzân, Jilid 3, hlm. 26.
  3. Al-Imâm Abu `Abdillâh, Muhammad ibnu Ahmad al-Anshâri al-Qurthubi.
  4. Al-Jâmi' li Ahkâmil-Qur`ân, Dârul-Kutub al-'Ilmiyyah, Beiruut, Libanon, 16/205.
  5. Al-Jâmi' li Ahkâmil-Qur`ân, 1/ 205. Jâmi'ul-Bayân fî Ta`wîlil-Qur`ân, 11/383.
  6. Jâmi'ul-Bayân fî Ta`wîlil-Qur`ân, 11/383.
  7. Ibid.
  8. Aysarut-Tafâsiir, Maktabtul-Ulûm wal-Hikam, Madinah Nabawiyyah, Cetakan ke-6, Tahun 1423 H/ 2003 M, hlm. 1259.
  9. Jâmi'ul-Bayân fî Ta`wîlil-Qur`ân, 11/ 383.
  10. Shahîh al-Bukhâri, al-Mazhâlim (9, 3/99).
  11. Al-Burhân fî 'Ulûmil-Qur'ân, az-Zarkasyi, Maktabah Dârit-Turâts, Kairo, 1/32

Penaklukkan SUNDA KELAPA, Asal Muasal KAUM BETAWI

Pusat perkembangan Islam di tanah Betawi
Pelabuhan Sunda Kelapa
Penulis sedang melakukan kajian kepustakaan sejarah dari berbagai sumber dan membandingkannya antara satu sumber dengan sumber yang lain serta mencari kesesuaian serta mengambil hipotesa untuk dijadikan sebuah postulat yang akan saya uji dengan beberapa ahli sejarah lainnya, demi mencari kebenaran fakta sejarah itu sendiri.

Sebagai penulis saya memang harus banyak belajar dan membaca dari berbagai referensi baik yang datang dari luar negeri maupun dari dalam negeri tanpa mempertimbangkan faktor politis, demi sebuah tujuan mulia mencari kebenaran sejarah itu sendiri dimana sebagai peneliti saya beribadah dengannya dan mengharapkan ridho Allah semata sebagai harta warisan buat anak cucu saya dan buat kejayaan bangsa Indonesia serta kemaslahatan ummat muslim di kemudian hari.

SEJARAH yang saya akan teliti adalah tentang kebenaran apakah PITUNG sang tokoh legendaris Betawi itu keturunan Sunan Gunung Jati dan juga pahlawan serta mujahidin dan santri yang berjuang membela rakyat kecil dan lemah menentang penjajahan asing khususnya penguasa VOC, Hindia Belanda.

Pengungkapan fakta sejarah ini diharapkan akan mengangkat harkat dan martabat kaum Betawi yang selama ini hanya dicekoki tentang cerita tanpa kekuatan latar belakang sejarah yang menyatakan si Pitung adalah PERAMPOK, PEMERKOSA dan PEMBUNUH serta PREMAN seperti artninya yang negatif di zaman modern ini. Apakah mungkin seorang santri dan mujahidin dilabeli perampok dan mirip seperti tokoh RobinHood dari Inggris itu? Kita akan temui faktanya hingga tiba waktunya.

Berikut ini kutipan artikel tentang penaklukkan Sunda Kelapa dan kisah tokoh-tokoh yang berkaitan dengannya seperti siapakah Fatahillah dan siapakah Sunan Gunung Jati. Perlu diketahui adalah Sunda Kelapa juga merupakan nama dari Jakarta sebelum tahun 1527, yang akhirnya berubah menjadi Jayakarta atau kemudian populer dikenal sebagai tanah Betawi.

Dalam pelajaran sejarah, kita MASIH menemukan bahwa Sunan Gunung Jati, Syarif Hidayatullah, Fatahillah, Faletehan adalah nama  atau sebutan untuk satu orang yang sama. Jadi Sunan Gunung Jati alias Fatahillah alias Syarif Hidayatullah, alias Faletehan alias Tagaril.

Kesimpulan ini bersumber dari disertasi DR. Husein Djajadiningrat tahun 1913 yang menyatakan bahwa nama-nama itu merupakan sebutan untuk satu orang. Pendapat ini masih banyak memengaruhi para penulis sejarah.

Menurut Edi S.Ekadjati dalam Seminar Sejarah Jawa Barat di Sumedang tanggal 21-23 Maret 1974 yang mengambil sumber dari Carita Purwaka Caruban Nagari, menyatakan bahwa nama tersebut  merupakan nama dua tokoh yang berlainan.

Makam kedua tokoh itu sama-sama ditempatkan secara berdekatan di Pasir Jati Bukit Sembung Cirebon. Sunan Gunung Jati wafat tahun 1568 sedangkan Fatahillah wafat tahun 1570. Berdasarkan Carita Purwaka Caruban Nagari dijelaskan bahwa silsilah Sunan Gunung Jati yaitu bahwa Nyai Subanglarang ibu dari Nyai Lara Santang, nenek Sunan Gunung Jati adalah putri dari Ki Gede Tapa.

Ratu Singapura dan penguasa pelabuhan Muara Jati. Nyai Subang Larang lahir tahun 1404 dan menikah tahun 1422, kemudian dari pernikahannya lahir putri Nyai Lara Santang pada tahun 1426.

Nyai Lara Santang menikah dengan Sultan Mahmud dari Mesir. Dari pernikahannya itu lahirlah Syarif Hidayatullah pada tahun 1448. Sultan Mahmud masih merupakan keturunan dari Nabi Muhammad s.a.w dan Syarif Hidayaatullah merupakan keturunan yang ke 22.

Jika dihitung dari masa hidup Rasulullah jangka waktunya mencapai jarak 800 tahun. Karena Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati merupakan keturunan sultan, beliau berhak menggantikan ayahnya. Namun hal itu ditolaknya karena beliau lebih senang menjadi mubaligh di tanah Jawa yaitu di Tanah Sunda sebagai tanah leluhurnya.

Setelah mengembara di Pasai, Sunan Gunung Jati datang ke Banten. Islam berkembang pesat di Banten berkat usaha dakwah dari Sunan Ngampel yang berpusat di Surabaya. Kemudian beliau berguru kepada Sunan Ngampel. Setelah menjadi santri Sunan Ngampel, beliau menetap untuk menyebarkan Islam di Cirebon dan wafat tahun 1470 dan bergelar Maulana Jati atau Syech Jati atau Sunan Gunung Jati.

Dari uraian ini jelaslah bahwa Syarif Hidayatullah bukanlah Fatahillah. Siapakah Fatahillah, Faaletehan atau Tagaril itu?

Fatahillah lahir di Pasai tahun 1490. Ayahnya bernama Maulana Mahdar Ibrahim dari Ghujarat sehingga Fatahillah bergelar Fahillah Khan al Pasai Ibnu Maulana Mahdar Ibrahim Alghujarat.

Dalam berita Portugis Fatahillah disebut Tagaril yang merupakan sebutan dari Fahrillah yang artinya kemenangan dari Allah. Demikianlah kisah dua tokoh penting dalam sejarah perkembangan Islam di bumi Nusantara.
----

Jadi penulis mengambil kesimpulan dan hipotesa, sangat dimungkinkan sekali bila Fatahillah bekerjasama dengan Sultan Banten dan tentunya hal ini juga berhubungan dengan Sunan Gunung Jati karena mereka sama-sama para ulama muslim yang sedang mengembangkan ajaran Islam. Setidaknya kemungkinan terbesar adalah adanya kerjasama antara 3 orang, yakni Sultan Banten, Sunan Gunung Jati dan utusan Sultan Ternggono, yakni Fatahillah untuk merebut Pelabuhan Sunda Kelapa dari kekuasaan Portugis dan Kerajaan Pasundan pada masa itu. Hal ini seperti tertulis dalam sejarah Sunda Kelapa, dengan rincian sebagai berikut.

SEJARAH SUNDA KELAPA

The Story of Pitung, The Robin Hood of Batavia

Kamis, 23 April 2015

Siapa yang tak kenal Si Pitung yang mempunyai teman bernama Dji-ih? Dia adalah seorang tokoh pahlawan lokal asli dan sudah melegenda di benak rakyat Betawi. Nama besarnya sudah sangat terkenal di zamannya dan sangat ditakuti lawan dan disegani kawan.

Dia semacam “Robin-Hood” asli Indonesia. Si Pitung selalu membela rakyat kecil dari penindasan dan penjajahan kompeni. Bagi VOC, Pitung merupakan TERORIS dan berpotensi menjadi ancaman terbesar bagi kelangsungan usaha mereka di Batavia saat itu.

Berikut kilasan sejarah Si Pitung yang melegenda tersebut :

Si Pitung lahir di daerah Pengumben, di sebuah kampung di Rawabelong yang pada saat ini berada di sekitar lokasi Stasiun Kereta Api Palmerah. Ayahnya bernama Bang Piung dan ibunya bernama Mpok Pinah. Si Pitung menerima pendidikan di pesantren yang dipimpin oleh Haji Naipin, seorang pedagang kambing.

Pitung merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara, pasangan suami-istri Piun dan Pinah. Berdasarkan cerita rakyat (folklore) yang masih hidup di masyarakat Betawi, sejak kecil belajar mengaji di langgar (mushala) di kampung Rawa Belong. Dia, menurut istilah Betawi, ‘orang yang denger kate’. Dia juga ‘terang hati’, cakep menangkap pelajaran agama yang diberikan ustadznya, sampai mampu membaca (tilawat) Alquran. Selain belajar agama, dengan H Naipin, Pitung –seperti warga Betawi lainnya–, juga belajar ilmu silat. H Naipin, juga guru tarekat dan ahli maen pukulan. Masa mudanya, dihabiskan dengan mempelajari ilmu silat dengan pengawasan gurunya di Rawabelong selama mempelajari silat.

Kehebatan gerak silat Pitung diuji ketika usai menjual kambing di Tanah Abang. Uang hasil penjualan dicopet segerombolan pemuda. Terjadilah perkelahian dengan kawanan pencopet. Dalam beberapa jurus, seluruh copet kampung itu terkapar ditanah. Melihat kehebatan korbannya, kawanan pencopet itu malah meminta agar Pitung menjadi pemimpin mereka.

Menjadi pemimpin pencopet, Pitung mulai beraksi. Namun kali ini korbannya bukan warga biasa karena ia pernah berjanji untuk membela warga yang lemah. Selama belajar silat itu, Pitung merasakan kehidupan orang Betawi dan Belanda (Eropa) sangat kontras. Dibalik penjajah yang disebut tuan besar, termasuk tuan-tuan tanah yang hidup mewah, Pitung melihat penderitaan rakyat kecil di sekitarnya.

Kondisi inilah yang membuat ia suka melakukan perampokan terhadap orang-orang kaya dan tuan-tuan tanah, yang membelenggu petani dengan berbagai blasting (pajak). Hasil rampokannya itu dibagi-bagikan kepada masyarakat miskin.

Menurut Damardini (1993:148) dalam Van Till (1996):

Pitung memang perampok. Mungkin saja Haji Samsudin dipukuli ketika itu. Kalau menurut istilah sekarang, Pitung itu pengacau, teroris dan dicari oleh Pemerintah. Pitung memang jahat. Pekerjaannya merampok dan memeras orang-orang kaya. Menurut kabar, hasil rampokannya dibagikan pada rakyat miskin. Namun sebenarnya tidak. Tidak ada perampok yang rela membagi hasil rampokannya dengan cuma-cuma, bukan? Menurut kabar, Pitung menyumbangkan uangnya pada mesjid-mesjid. Saat itu mesjid hanya ada di Pekojan, Luar Batang, dan Kampung Sawah. Tidak ada bukti bahwa Pitung mendermakan uangnya di sana.’

Pitung yang menjadi karakter sebagai Robin Hood versi Betawi dikembangkan oleh Lukman Karmani (Till, 1996). Karmani menulis novel Si Pitung. Dalam novel ini, dikisahkan bahwa Si Pitung sebagai pahlawan sosial. Menurut Rahmat Ali, ‘Pitung sebagai tokoh kisah Betawi masa lampau memang dikenal sebagai perampok, tetapi hasil rampokan itu digunakan untuk menolong orang-orang yang menderita. Dia adalah Robin Hood Indonesia. Walaupun demikian pihak yang berwenang tidak memberikan toleransi, orang yang bersalah harus tetap diberi hukuman yang setimpal’ (Rahmat Ali 1993:7).

Beragam pro dan kontra menyelubungi di balik kisah legenda Si Pitung ini, tetapi pada dasarnya tokoh Si Pitung adalah cerminan pemberontakan sosial yang dilakukan oleh “Orang Betawi” terhadap penguasa pada saat itu, yaitu Belanda. Apakah hal ini benar atau tidak, kisah Si Pitung begitu harum didengar dari generasi ke generasi oleh masyarakat Betawi sebagai tanda pembebasan sosial dari belenggu penjajah.

Hal ini ditunjukkan dari Rancak Pitung di atas bagaimana Si Pitung begitu ditakuti oleh pemerintah Belanda pada saat itu.

Pada tahun 1892, Pitung dan kawanannya ditangkap oleh polisi sesudah Kepala Kampung Kebayoran yang menerima 50 ringgit (Hindia Olanda 26-8-1892:2) memberi nasihatuntuk menangkap Si Pitung. Setelah ditangkap, kurang dari setahun kemudian, pada musim semi 1893, Pitung dan Dji-ih merencanakan kabur dengan cara yang misterius dari tahanan Meester Cornelis. Sebuah investigasi kemudian dilakukan oleh Asisten Residen sendiri, tetapi tidak berhasil. Karena kejadian tersebut, Kepala Penjara dicurigai melepaskan si Pitung dan Dji-ih. Akhirnya seorang Petugas Penjara mengakui bahwa dia meminjamkan sebuah belincong (sejenis linggis pencungkil) kepada Si Pitung, yang kemudian digunakan untuk membongkar atap dan mendaki dinding (Hindia Olanda, 25-4-1893:3; Lokomotief 25-4 1893:2). Akibatnya, Si Pitung lepas lagi.

Berdasarkan rumor, Pitung pernah menampakkan diri kepada seorang wanita di sebuah perahu dengan nama Prasman. Detektif mencoba mencari di kapal tersebut (Hindia Olanda, 12-5-1893:3), tetapi hasilnya Pitung tidak dapat ditemukan. Karena sulitnya menemukan dan menangkap si Pitung, harga untuk penangkapan Pitung menjadi meningkat sebesar 400 Gulden. Pemerintah Belanda pada saat itu ingin menembak mati Pitung di tempat, tetapi sebagian pejabat mengatakan, jika Pitung ditembak justru akan menumbuhkan semangat patriotik, sehingga niat ini diurungkan oleh kepolisian Batavia untuk menembak ditempat walaupun pada akhirnya hal ini dilakukan juga.

Sebagai tindakan balas dendam, Pitung melakukan pencurian dengan kekerasan termasuk dengan menggunakan sejata api. Akhirnya Pitung dan Dji-ih membunuh seorang polisi intel yang bernama Djeram Latip (Hindia Olanda 23-9-1893:2). Dia juga mencuri dari wanita pribumi, Mie, termasuk pakaian laki-laki serta pistol revolver dengan pelurunya. Pernyataan ini didukung oleh Nyonya De C, seorang pedagang wanita di Kali Besar yang menyatakan bahwa Pitung mencuri sarung yang bernilai ratusan Gulden dari perahunya (Hindia Olanda 22-11-1892:2).

Dji-ih ditangkap kembali di kampung halamannya ketika sedang menderita sakit. Pada saat itu Dji-ih pulang ke kampung halamannya untuk memperoleh pengobatan. Kemudian dia pindah ke rumah orang tua yang dikenal.

Kepala kampung pada saat itu (Djoeragan) melaporkannya ke Demang kemudian memerintahkan tentara untuk menangkap Dji-ih dirumahnya. Karena dia terlalu sakit, dia tidak berdaya untuk melawan, walaupun pada saat itu pistol dalam jangkauannya (Hindia Olanda 19-8-1893:2). Dia menyerah tanpa perlawanan. Untuk menutupi hal ini kemudian Pemerintah Belanda melansir di Java-Bode (15-8-1893:2) bahwa Dji-ih kabur ke Singapura. Informan yang bertanggungjawab melaporkan Dji-ih kemudian ditembak mati oleh Pitung di suatu tempat yang tak jauh dari Batavia beberapa minggu kemudian.

“’Itoe djoeragan koetika ketemoe Si Pitoeng betoelan di tempat sepi troes, Si djoeragan menjikip pada Si Pitoeng dan dari tjipetnja Si Pitoeng troes ambil pestolnja dari pinjang, lantas tembak si djoeragan itoe menjadi mati itoe tempat djoega.’ (Hindia Olanda 1-9-1893:2.)

Beberapa bulan kemudian, di bulan Oktober, Kepala Polisi Hinne mempelajari dari informan bahwa Pitung terlihat di Kampung Bambu, kampung di antara Tanjung Priok dan Meester Cornelis. Kemudian dalam perjalanannya Hinne diberi laporan bahwa Pitung telah pindah ke arah pekuburan di Tanah Abang (Hindia Olanda 18-10-1893). Kemudian, Hinne menembaknya dalan penyergapan itu. Pitung ditembak di tangan, kemudian Pitung membalasnya. Kemudian Hinne menembak kedua kalinya, tetapi meleset, dan peluru ketiga mengenai dada dan membuatnya terjerembap di tanah. Sehari sesudah kematiannya, hari Senin, jenazah dibawa ke pemakaman Kampung Baru pada jam 5 sore.

Setelah Hinne menangkap Pitung, setahun kemudian dia dipromosikan menjadi Kepala Polisi Distrik Tanah Abang untuk mengawasi seluruh Metropolitan Batavia-Weltevreden. Setelah kejadian tersebut Pemerintah Hindia Belanda melakukan pencegahan agar “Pitung-Pitung” yang lain tidak terjadi lagi di Batavia. Bahkan karena ketakutannya makam Si Pitung setelah kematiannya, dijaga oleh Pemerintah Belanda agar tidak diziarahi oleh masyarakat pada waktu itu.

Berdasarkan cerita legenda, Si Pitung dapat dibunuh oleh Belanda dengan beragam argumen tersebut di atas. Menurut Hindia Olanda (18-10-1893:2), sebelum ditangkap Pitung dalam keadaan rambut terpotong, beberapa jam sebelum kematiannya pada hari Sabtu. Seperti yang diceritrakan oleh legenda bahwa kesaktian Si Pitung hilang akibat jimat-nya diambil orang (Versi Film Si Pitung Banteng Betawi), tetapi yang menarik, versi lain menyatakan, bahwa Si Pitung dapat di-”lemahkan” jika dipotong rambut-nya. Berdasarkan koran Hidia Olanda dikatakan bahwa sebelum kematiannya Si Pitung telah dipotong rambutnya.

Rumah Si Pitung yang terletak di Marunda, Cilincing, Jakarta Utara, diperkirakan dibangun pada abad ke 19. Si Pitung sendiri lahir di Rawa Belong, Jakarta Barat. Karena keberaniannya melawan penjajahan Belanda membuat nama si Pitung menjadi buah bibir masyarakat masa itu hingga kini.

Dimanakah makam Si Pitung sekarang?  Sesepuh Rawabelong, Nur Ali Akbar (65) saat ditemui merdeka di rumahnya, Jalan Yahya, RT 2, RW, 7, Sukabumi Utara, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Sabtu (8/9).



“Ya di situ makam Pitung, pahlawan asli Rawabelong. Di depan kantor Telkom itu,” jelas sesepuh Rawabelong, Nur Ali Akbar

Lebih lanjut, meski tidak ada bukti otentik, semisal batu nisan yang memberikan informasi tentang siapa yang dimakamkan, pria yang juga ahli beladiri Betawi, Cingkrik ini yakin jika yang dikebumikan itu adalah si Pitung, Robin Hood Betawi.

“Dari cerita bapaknya kakek pak haji nih, di makam itu, Pitung dimakamkan.”

Meski tidak mengetahui tanggal dan tahun kapan pastinya Pitung meninggal dunia, Haji Nunung membantah jika Pitung memiliki ilmu Rawa Rontek, seperti yang selama ini beredar. Karena menurutnya ilmu Rawa Rontek adalah ajaran agama Hindu.

Melihat kondisi makam yang mengenaskan. Dari pantauan merdeka.com, seperti kondisi makam yang dijelaskan di atas, peristirahatan Pitung itu juga tidak memiliki pengurus makam. Bahkan untuk membersihkan daun-daun bambu yang berguguran, terkadang petugas Telkom berinisiatif sendiri untuk membersihkannya.

Untuk itu, Haji Nunung berharap kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta khususnya, pemerintah kota Jakarta Barat untuk memberikan perhatian terhadap makam Pitung. Perhatian yang diharapkannya, pemerintah mau mendirikan semacam monumen.

Referensi :

Margereet Van Till, 1996, In Search of Si Pitung: The history of an Indonesian legend, dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 152, no: 3, Leiden, 461-482)
Basoeki Koesasi, 1992, Lenong dan Si Pitung, Centre of Southeast Studies-Australian National University.
Palupi Damardini , 1993, Cerita Si Pitung Sebagai Sastra Lisan: Analisis Terhadap Struktur Cerita, Tesis Master, Fakultas Sastra Universitas Indonesia)
Rahmat Ali, 1993, Cerita Rakyat Betawi I, Jakarta: PT Gramedia Widiasarana

PITUNG, The Freeman of BATAVIA

Rabu, 22 April 2015

Cerita ini bermula dari kegelisahan saya sebagai wartawan yang pernah mendengar sebuah kisah yang terdengarnya melegenda di satu pihak yakni orang Indonesia, khususnya orang Betawi, tapi bisa jadi miris saat mempelajari dan menelitinya dari catatan sejarah yang bersumber langsung dari artikel Belanda.

Ya siapa lagi kalau bukan kisah heroik sang legenda pahlawan dan pendekar Betawi, yang sering disebut sebagai preman atau freeman (frijman) oleh bangsa Belanda khususnya pemerintahan gubermen VOC di Sunda Kelapa, Batavia.

Padahal sejatinya, perjuangan mujahidin yang bernama sandi Pitung ini sejatinya adalah perjuangan seorang santri atau pelajar muslim dari sebuah pesantren di Rawabelong, sekarang masuk wilayah Jakarta Barat, yang selalu berjuang membela orang Betawi dari kalangan rakyat kecil, dibantu dengan teman-teman seperguruan dan sesama warga Batavia lainnya dari beragam etnis, mulai dari orang-orang China, Arab, India dan bahkan sebagian orang Belanda yang masih punya hati nurani.

Jadi sesungguhnya perjuangan si pemuda yang akhirnya mati muda dan belum sempat menikah ini bukan semata melawan orang asing Belanda, tapi melawan kesewenang-wenangan penguasa VOC yang saat itu memerintah di seluruh nusantara dan bermarkas di pusat ibukota sekarang, yakni Jayakarta, atau dulu kerap disebut sebagai Sunda Kelapa dan Batavia.

Pertanyaannya adalah mengapa yang dipilih sebagai pusat pemerintahan adalah Batavia, Sunda Kelapa? Apakah karena alasan geografis? Atau alasan karakter budaya dan demografis suku asli setempat, yakni tipikal orang Betawi yang bersifat terbuka, ramah dan tidak suka membuat kericuhan serta masalah? Kita akan cari tahu apa hasil penelitian saya dari referensi literatur sejarah baik milik pemerintah maupun pihak asing, khususnya kerajaan Belanda.

Judul dari cerita sejarah ini adalah, Pitung, The Freeman of Batavia, dengan makna pemahaman dari berbagai sudut yang secara jujur diambil berdasarkan kisah para sejarawan dan catatan sejarah dan dinarasikan dengan beberapa deskripsi metode penulisan.

Penulis berusaha untuk tidak mengurangi fakta sejarah, namun demi otentiknya cerita, maka beberapa nama yang terkait sengaja dibuat fiktif, terkecuali beberapa bagian dan tidak menimbulkan masalah bagi para ahli waris dan keturunan sang tokoh legendaris, Pitung.

ASAL MULA.
Si Pitung lahir di daerah Pengumben, di sebuah kampung di Rawabelong yang pada saat ini berada di sekitar lokasi Stasiun Kereta Api Palmerah. Ayahnya bernama Bang Piung dan ibunya bernama Mpok Pinah. Pitung menerima pendidikan di pesantren yang dipimpin oleh Haji Naipin, seorang pedagang kambing.

Si Pitung merupakan nama panggilan asal kata dari bahasa Sunda pituan pitulung (orang yang bisa dimintai tolong atau penolong). Kemudian, nama panggilan ini menjadi Pitung. Nama asli si Pitung sendiri adalah Salihun (Salihoen). Pada dasarnya ada tiga versi yang tersebar di masyarakat mengenai si Pitung yaitu versi Indonesia, Belanda, dan Cina. Masing-masing penutur versi cerita tersebut memiliki versi yang berbeda dari cerita si Pitung itu sendiri. Apakah si Pitung sebagai seorang pahlawan berdasarkan versi cerita Indonesia, dan sebagai seorang penjahat jika dilihat dari versi Belanda.

Cerita si Pitung ini dituturkan oleh masyarakat Indonesia hingga saat ini dan menjadi bagian legenda serta warisan budaya Betawi khususnya dan Indonesia umumnya. Kisah legenda Si Pitung ini kadang-kadang dituturkan menjadi rancak (sejenis balada), syair, atau cerita Lenong. Menurut versi Koesasi (1992), Si Pitung diidentikan dengan tokoh Betawi yang membumi, muslim yang shaleh, dan menjadi contoh suatu keadilan sosial.

AWAL LEGENDA
Menurut versi van Till (1996) si Pitung merupakan seorang kriminal, diawali ketika si Pitung menjual kambing di pasar Tanah Abang yang kemudian dicuri oleh para “centeng” Si Gomar menurut versi Film Si Pitung (1970) tuan tanah.

Si Pitung kembali pulang dengan tangan hampa, namun si Pitung hanya tersenyum dan menjawab bahwa dia telah dirampok. Ayah Pitung yang marah kemudian menyuruh Pitung pergi mencari uang tersebut dan akhirnya dapat menemukannya kembali.

Namun, para pencuri alias "centeng" tersebut mengajak Pitung untuk bergabung sebagai perampok dan menjadi ketua mereka. Pada awalnya Pitung menolak, tetapi akhirnya Pitung bergabung dengan mereka.

Legenda yang dikisahkan dalam film Si Pitung, Pitung dan kawanannya menggunakan cara yang “pintar” dengan menyamar sebagai pegawai Pemerintah Belanda (Di Versi Film Si Pitung, Pitung disebut sebagai "Demang Mester Cornelis" – Wilayah Mester Cornelis saat ini disebut sebagai Jatinegara, merupakan bagian dari Kota Jakarta Timur – dan Dji-ih sebagai “Opas”).

Kemudian, mereka melakukan penipuan dengan memberikan surat kepada Haji Saipudin agar Haji Saipudin menyimpan uang di tempat Demang Mester Cornelis. Pitung menyatakan bahwa uang tersebut dalam pengawasan pencurian. Haji Saipudin setuju kemudian Pitung dan Kelompoknya membawa lari uang tersebut.

Akibat dari hal ini, si Pitung dan kawanannya menjadi buronan “kompenie” VOC. Hal ini menarik perhatian komisaris polisi yang bernama Van Heyne (Schout Van Heyne, Van Heijna, Scothena, atau Tuan Sekotena).

Secara resmi, menurut Van Till (1996), nama petugas polisi tersebut bernama A.W. Van Hinne yang pernah bertugas di Batavia dari tahun 1888 - 1912. Menurut catatan kepolisian Belanda, Van Hinne memulai karier sebagai pegawai klerikal Pemerintah Belanda, kemudian menjadi Deputi Kehutanan, dan Polisi di beragam tempat di Indonesia.

Van Hinne menderita sakit yang serius sesudah dikembalikan ke Eropa untuk penyembuhan. Pada akhir tahun 1880, Van Hinne menjadi seorang Perwira Polisi di Batavia (Stambock van Burgerlijke Ambtenaren in Nederlandsch-Indie en Gouvernements Marine, ARA (Aigemeen Rijksarchief), Den Haag, register T.f. 274).

Van Hinne segera memburu Si Pitung dengan membabi buta. Akhirnya dia dapat menangkap Pitung, tetapi kemudian Si Pitung berhasil melarikan diri dari tahanan ka-Demangan Meester Cornelis. Van Till (1996) menyatakan bahwa Si Pitung mampu bebas dengan kekuatan sihir, tetapi menurut versi Film Si Pitung (1970), Si Pitung lepas dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam.[6]

Kemudian, Hinne menekan Haji Naipin (Guru Si Pitung) untuk membuka rahasia kesaktian si Pitung. Akhirnya, diketahui kesaktian tersebut berupa “jimat”, sehingga Hinne dapat menangkap Si Pitung secara lebih cepat.

Versi lainya menyatakan bahwa Pitung dikhianati oleh temannya sendiri (kecuali Dji-ih) walaupun versi ini diragukan kebenarannya. Tetapi menurut versi film Si Pitung Banteng Betawi (1971), ia dikhianati oleh Somad yang memberitahukan kelemahan Pitung untuk mengambil “jimatnya”.

Kisah lainnya menyatakan bahwa Pitung telah diambil “Jimat Keris”-nya sehingga kesaktiannya menjadi lemah. Versi lainnya mengatakan bahwa kesaktian Pitung hilang setelah dipotong rambut, dan juga versi lain mengatakan bahwa kesaktiannya hilang karena sesorang melemparkan telur.

Akhirnya Pitung meninggal karena luka tembak Hinne (Berdasarkan versi Film Si Pitung, Pitung mati tertembak karena peluru emas). Sesudah Si Pitung meninggal, makamnya dijaga oleh tentara karena percaya bahwa Si Pitung akan bangkit dari kubur.

Hal ini tersirat dari Rancak Si Pitung dalam Van Till (1996):
Si Pitung sudah mati dibilangin sama sanak sudaranya
Digotong di Kerekot Penjaringan kuburannya
Saya tau orang rumah sakit nyang bilangin
Aer keras ucusnya dikeringin
Waktu dikubur pulisi pade iringin
Jago nama Pitung kuburannya digadangin
Yang gadangin kuburannya Pitung dari sore ampe pagi
Kalo belon aplusan kaga ada nyang boleh pegi
Sebab yang gadangin waktu itu sampe pagi
Kabarnya jago Pitung dalam kuburan idup lagi
Yang gali orang rante mengaku paye
Belencong pacul itu waktu suda sedie
Lantaran digali Tuan Besar kurang percaye
Dilongok dikeker bangkenye masi die
Memang waktu itu bangke Pitung diliat uda nyata
Dicitak di kantor, koran kantor berita
Ancur rumuk tulang iganya, bekas kena senjata
Nama Pitung suda mati Tuan Hena ke Tomang bikin pesta
Pesta itu waktu keiewat ramenye
Segala permaenan kaga larangannya
Tuju ari tuju malem pesta permisiannya
Sengaja bikin pesta mau tangkep kawan-kawannya
Nama Pitung mau ditangkep kawan-kawannya
PITUNG, Robin Hood Betawi
Menurut Damardini (1993:148) dalam Van Till (1996):
Pitung memang perampok. Mungkin saja Haji Samsudin dipukuli ketika itu. Kalau menurut istilah sekarang, Pitung itu pengacau, dan dicari oleh Pemerintah. Pitung memang jahat. Pekerjaannya merampok dan memeras orang-orang kaya. Menurut kabar, hasil rampokannya dibagikan pada rakyat miskin. Namun sebenarnya tidak. Tidak ada perampok yang rela membagi hasil rampokannya dengan cuma-cuma, bukan? Menurut kabar, Pitung menyumbangkan uangnya pada mesjid-mesjid. Saat itu mesjid hanya ada di Pekojan, Luar Batang, dan Kampung Sawah. Tidak ada bukti bahwa Pitung mendermakan uangnya di sana.
Pitung yang menjadi karakter sebagai Robin Hood versi Betawi dikembangkan oleh Lukman Karmani (Till, 1996). Karmani menulis novel Si Pitung. Dalam novel ini, dikisahkan bahwa Si Pitung sebagai pahlawan sosial. Menurut Rahmat Ali, 'Pitung sebagai tokoh kisah Betawi masa lampau memang dikenal sebagai perampok, tetapi hasil rampokan itu digunakan untuk menolong orang-orang yang menderita. Dia adalah Robin Hood Indonesia. Walaupun demikian pihak yang berwenang tidak memberikan toleransi, orang yang bersalah harus tetap diberi hukuman yang setimpal' (Rahmat Ali 1993:7).

Beragam pro dan kontra ]menyelubungi di balik kisah legenda Si Pitung ini, tetapi pada dasarnya tokoh Si Pitung adalah cerminan pemberontakan sosial yang dilakukan oleh "Orang Betawi" terhadap penguasa pada saat itu, yaitu Belanda.

Apakah hal ini benar atau tidak, kisah Si Pitung begitu harum didengar dari generasi ke generasi oleh masyarakat Betawi sebagai tanda pembebasan sosial dari belenggu penjajah. Hal ini ditunjukkan dari Rancak Pitung di atas bagaimana Si Pitung begitu ditakuti oleh pemerintah Belanda pada saat itu.

FAKTA SEJARAH PITUNG
Berdasarkan penelusuran van Till (1996) berdasarkan Hindia Olanda 22-11-1892 (Koran Terbitan Malaya (Malaysia pada saat ini)). Pada tahun 1892 Si Pitung dikenal pada sebagai “One Bitoeng”, “Pitang", kemudian menjadi “Si Pitoeng” (Hindia Olanda 28-6-1892:3; 26-8-1892:2).

Laporan pertama dari surat kabar ini menunjukkan bahwa schout Tanah Abang mencari rumah “One Bitoeng” di Sukabumi. Dari hasil penemuannya ditemukan Jas Hitam, Seragam Polisi dan Topi, serta beberapa perlengkapan lainnya yang digunakan untuk mencuri kampung (Hindia Olanda, 28-6-1892:2).

Sebulan kemudian polisi menggeledah rumahnya kembali dan ditemukan uang sebesar 125 gulden. Hal ini diduga uang curian dari Nyonya De C dan Haji Saipudin seorang Bugis dari Marunda (Hindia Olanda 10-8-1892:2;2; 26-8-1892:2).

Kemudian Si Pitung menggunakan senjata untuk mencuri pada tanggal 30 Juli 1892, ketika itu Si Pitung dan lima kawanannya (Abdoelrachman, Moedjeran, Merais, Dji-ih, dan Gering) menerobos rumah Haji Saipudin dengan mengancam bahwa Haji Saipudin akan ditembak.

Pada tahun 1892, Pitung dan kawanannya ditangkap oleh polisi sesudah Kepala Kampung Kebayoran yang menerima 50 ringgit (Hindia Olanda 26-8-1892:2) memberi nasihat untuk menangkap Si Pitung.

Setelah ditangkap, kurang dari setahun kemudian, pada musim semi 1893, Pitung dan Dji-ih merencanakan kabur dengan cara yang misterius dari tahanan Meester Cornelis. Sebuah investigasi kemudian dilakukan oleh Asisten Residen sendiri, tetapi tidak berhasil. Karena kejadian tersebut, Kepala Penjara dicurigai melepaskan si Pitung dan Dji-ih.

Akhirnya seorang Petugas Penjara mengakui bahwa dia meminjamkan sebuah belincong (sejenis linggis pencungkil) kepada Si Pitung, yang kemudian digunakan untuk membongkar atap dan mendaki dinding (Hindia Olanda, 25-4-1893:3; Lokomotief 25-4 1893:2). Akibatnya, Si Pitung lepas lagi.

Berdasarkan rumor, Pitung pernah menampakkan diri kepada seorang wanita di sebuah perahu dengan nama Prasman. Detektif mencoba mencari di kapal tersebut (Hindia Olanda, 12-5-1893:3), tetapi hasilnya Pitung tidak dapat ditemukan.

Karena sulitnya menemukan dan menangkap si Pitung, harga untuk penangkapan Pitung menjadi meningkat sebesar 400 Gulden. Pemerintah Belanda pada saat itu ingin menembak mati Pitung di tempat, tetapi sebagian pejabat mengatakan, jika Pitung ditembak justru akan menumbuhkan semangat patriotik, sehingga niat ini diurungkan oleh kepolisian Batavia untuk menembak ditempat walaupun pada akhirnya hal ini dilakukan juga.

Sebagai tindakan balas dendam, Pitung melakukan pencurian dengan kekerasan termasuk dengan menggunakan sejata api. Akhirnya Pitung dan Dji-ih membunuh seorang polisi intel yang bernama Djeram Latip (Hindia Olanda 23-9-1893:2).

Dia juga mencuri dari wanita pribumi, Mie, termasuk pakaian laki-laki serta pistol revolver dengan pelurunya. Pernyataan ini didukung oleh Nyonya De C, seorang pedagang wanita di Kali Besar yang menyatakan bahwa Pitung mencuri sarung yang bernilai ratusan Gulden dari perahunya (Hindia Olanda 22-11-1892:2).

Dji-ih ditangkap kembali di kampung halamannya ketika sedang menderita sakit. Pada saat itu Dji-ih pulang ke kampung halamannya untuk memperoleh pengobatan. Kemudian dia pindah ke rumah orang tua yang dikenal. Kepala kampung pada saat itu (Djoeragan) melaporkannya ke Demang, kemudian memerintahkan tentara untuk menangkap Dji-ih dirumahnya. Karena dia terlalu sakit, dia tidak berdaya untuk melawan, walaupun pada saat itu pistol dalam jangkauannya (Hindia Olanda 19-8-1893:2).

Dia menyerah tanpa perlawanan. Untuk menutupi hal ini kemudian Pemerintah Belanda melansir di Java-Bode (15-8-1893:2) bahwa Dji-ih kabur ke Singapura. Informan yang bertanggungjawab melaporkan Dji-ih kemudian ditembak mati oleh Pitung di suatu tempat yang tak jauh dari Batavia beberapa minggu kemudian.
"Itoe djoeragan koetika ketemoe Si Pitoeng betoelan di tempat sepi troes, Si djoeragan menjikip pada Si Pitoeng dan dari tjipetnja Si Pitoeng troes ambil pestolnja dari pinjang, lantas tembak si djoeragan itoe menjadi mati itoe tempat djoega."
(Hindia Olanda 1-9-1893:2.)
Beberapa bulan kemudian, di bulan Oktober, Kepala Polisi Hinne mempelajari dari informan bahwa Pitung terlihat di Kampung Bambu, kampung di antara Tanjung Priok dan Meester Cornelis.

Kemudian dalam perjalanannya Hinne diberi laporan bahwa Pitung telah pindah ke arah pekuburan di Tanah Abang (Hindia Olanda 18-10-1893).

Kemudian, Hinne menembaknya dalan penyergapan itu. Pitung ditembak di tangan, kemudian Pitung membalasnya. Kemudian Hinne menembak kedua kalinya, tetapi meleset, dan peluru ketiga mengenai dada dan membuatnya terjerembap di tanah. Sehari sesudah kematiannya, hari Senin, jenazah dibawa ke pemakaman Kampung Baru pada jam 5 sore.

Setelah Hinne menangkap Pitung, setahun kemudian dia dipromosikan menjadi Kepala Polisi Distrik Tanah Abang untuk mengawasi seluruh Metropolitan Batavia-Weltevreden. Setelah kejadian tersebut Pemerintah Hindia Belanda melakukan pencegahan agar "Pitung-Pitung" yang lain tidak terjadi lagi di Batavia. Bahkan karena ketakutannya makam Si Pitung setelah kematiannya, dijaga oleh Pemerintah Belanda agar tidak diziarahi oleh masyarakat pada waktu itu.

KESAKTIAN DAN KEMATIAN SI PITUNG
Berdasarkan cerita legenda, Si Pitung dapat dibunuh oleh Belanda dengan beragam argumen tersebut di atas. Menurut Hindia Olanda (18-10-1893:2), sebelum ditangkap Pitung dalam keadaan rambut terpotong, beberapa jam sebelum kematiannya pada hari Sabtu.

Seperti yang diceritakan oleh legenda bahwa kesaktian Si Pitung hilang akibat jimat-nya diambil orang (versi Film Si Pitung Banteng Betawi), tetapi yang menarik, versi lain menyatakan, bahwa Si Pitung dapat di-"lemahkan" jika dipotong rambut-nya. Berdasarkan koran Hidia Olanda dikatakan bahwa sebelum kematiannya Si Pitung telah dipotong rambutnya.

Sesudah kematian Si Pitung, makamnya dikawal oleh tentara, karena beberapa masyarakat percaya dia akan bangkit dari kematian. Dalam Rancak Si Pitung dijelaskan bagaimana kondisi sesudah kematian Si Pitung.
"Si Pitung sudah mati dibilangin sama sanak sudaranya
Digotong di Kerekot Penjaringan kuburannya
Saya tau orang rumah sakit nyang bilangin
Aer keras ucusnya dikeringin
Waktu dikubur pulisi pade iringin
Jago nama Pitung kuburannya digadangin
Yang gadangin kuburannya Pitung dari sore ampe pagi
Kalo belon aplusan kaga ada nyang boleh pegi
Sebab yang gadangin waktu itu sampe pagi
Kabarnya jago Pitung dalam kuburan idup lagi
Yang gali orang rante mengaku paye
Belencong pacul itu waktu suda sedie
Lantaran digali Tuan Besar kurang percaye
Dilongok dikeker bangkenye masi die
Memang waktu itu bangke Pitung diliat uda nyata
Dicitak di kantor, koran kantor berita
Ancur rumuk tulang iganya, bekas kena senjata
Nama Pitung suda mati Tuan Hena ke Tomang bikin pesta
Pesta itu waktu keiewat ramenye
Segala permaenan kaga larangannya
Tuju ari tuju malem pesta permisiannya
Sengaja bikin pesta mau tangkep kawan-kawannya
Nama Pitung mau ditangkep kawan-kawannya." 

Konon setelah kematiannya jasad Si Pitung dimakamkan di daerah Kebun Jeruk, Jakarta Barat dekat kantor Telkom. Ada yang mengatakan makam si Pitung didaerah Tapos, Depok.
Ada yang mengatakan juga jasad si Pitung dimakamkan di hutan Jatijajar, Depok.

Film Si Pitung Dibintangi Iko Uwais & Yayan Ruhiyan?

Selasa, 21 April 2015

Ketika bertemu dengan tokoh Betawi cicit langsung dari si Pitung, terbersit ide gila yang ingin mengangkat nama legendaris pahlawan pejuang asli Indonesia yang melawan penjajahan VOC dengan sudut pandang yang baru dan beda dari pembuatan film sebelumnya tentang si Pitung. Meskipun cerita ini akan ditulis ulang, namun nuansa mistis dan kehebatan pertarungan pendekar Betawi ini akan jadi bumbu utama dengan pendekatan logis dan tentunya empirik.

Bisa dibayangkan bukan, bagaimana tokoh legendaris si Pitung yang dikenal memiliki ilmu kanuragan Rawe Rontek akan diungkap secara detail apa yang sebenarnya terjadi. Benarkah si Pitung mempunyai ilmu kekebalan, sebagai satu bagian turunan ilmu Rawe Rontek? Dan apakah benar Pitung hanya bisa dibunuh jika seluruh anggota tubuhnya dibelah dan dipisahkan satu sama lain?

Namun sedikit bocoran tentang kesaktian ilmu beladiri sang pahlawan melawan kehebatan teknologi senapan dan peluru pasukan opas VOC pada masa itu, termasuk senapan mesin dan meriam yang harus dihadapinya. Ternyata tak lebih dari keahlian ilmu beladiri semata dan tentunya cerita yang berkembang di tengah msyarakat awam yang tidak bisa melihat langsung dan hanya mendengar dari mulut ke mulut.

Rasionalisasi ilmu rawe rontek (ada yang menyebutnya juga ilmu rawa rontek atau ajian Pancasona) adalah sebenarnya sosok si Pitung tidak hanya cuma ada satu orang. Sedikitnya dalam catatan sejarah intelijen, sosok si Pitung ada tujuh orang. Sesuai dengan namanya, Pitung berasal dari sebutan Pituan Pitulung, yang artinya si Tuan Penolong. Namun para peneliti sejarah lainnya mengatakan, bahwa nama si Pitung sendiri karena Pituan itu berarti tujuh orang yang selalu bersama atau disebut Tujuhan. Dalam lidah orang Betawi saat itu menjadi Tujuan. Hingga sekarang asimilasi bahasa, salah satu dari arti "tujuan" yang berasal dari kata tujuh orang yang bergerak sama dengan satu tujuan. Sepertinya teori ini bisa dimaklumi.

Kembali masalah pembuatan ulang atau remake film si Pitung, sang pendekar Betawi dengan kondisi sekarang ini. Namun tetap dengan setting masa kolonialisme Belanda, karena ada pesan moral yang sangat penting bagaimana logika bangsa kita menerima folklore (cerita rakyat) menjadi sebuah legenda dan alat propaganda yang mampu membakar semangat berjuang rakyat pada masa itu, dan mudah-mudahan saja film ini jadi inspirasi dan pencerahan.

Kenapa penulis katakan pencerahan? Karena ternyata dalam situasi penjajahan yang lebih cenderung seharusnya tercipta perlawanan langsung dan terbuka kepada pemerintahan VOC yang cenderung bersikap aniaya dan sangat mengekang kebebasan rakyat kebanyakan, rakyat perlu disadarkan dan dibangunkan dengan beragam cara, tentunya dengan perang cerita.

Perang media tidak cuma terjadi pada masa serba teknologi seperti sekarang ini, tapi justru sudah dibangun semenjak syariat Islam pertama kali menyebar ke seluruh dunia dan melawan segala bentuk kolonialisme pada saat itu. Ghozwul fikri atau perang ideologi dan konsep pemikiran memang dimulai dari ratusan tahun silam bahkan semenjak Perang Salib terjadi, nah mulai dari situlah perang antara kaum muslimin dan kolonialisme terjadi.

Kembali ke masalah perjuangan Pitung melawan penjajah, ternyata sang tokoh yang dikenal rajin sholat dan mengaji serta belajar ilmu beladiri silat ini memang seorang mujahidin asli, namun karena banyak tokoh Pitung yang berjumlah 7 orang inilah, maka banyak sepak terjangnya yang dianggap negatif oleh banyak kalangan terutama pihak penguasa VOC.



Bahkan dimungkinkan dari tujuh orang yang dikenal menggunakan nama sandi perang si Pitung dan hal ini tidak diketahui oleh pihak mata-mata atau informan Belanda yang kebanyakan dari kalangan centeng dan jawara, hanya satu saja yang tidak suka merampok namun memang suka sekali membela rakyat kecil, dan sosok ini adalah yang paling senior dan jago di antara mereka. Salah satu tokoh Pitung yang juga akhirnya dikenal luas adalah bang Pitung Ji'ih, yang diduga bernama asli Abdur Roji'ih atau Abdullah Roji'ih atau Muhammad Roji'ih.

Menurut pengakuan seorang pengamat sejarah yang tak mau disebutkan namanya, sebenarnya sosok Pitung itu ada banyak bukan cuma satu orang, bahkan mungkinlebih dari tujuh orang. Namun yang dikenal di kalangan orang Betawi khususnya para ulama dan kyai serta ustadz, hanya ada 7 orang murid pesantren yang mendapat nama sandi si Pitung. Ke-7 santri yang bermodalkan ilmu bertarung pencak silat yang berbeda namun sudah sampai tingkat ahli ini memang diketahui berusia muda dan berbadan sangat sehat prima. Mereka menyebar di segala penjuru karesidenan distrik Batavia pada masa itu, dan dimulai dari pusatnya di Rawabelong. Makanya ada kisah sepak terjang si Pitung di Tenabang, Kemayoran, Kota Beos, Pamulang, Kampung Duri, Pinangsia, Jatinegara, Kampung Melayu. Ini bukan berarti si Pitung suka bergelrilya, namun sedikitnya ada 7 orang yang menggunakan nama sandi Pitung untuk melakukan tindakan agitasi terhadap kewibawaan pemerintahana VOC. Hal ini memang sengaja dilakukan untuk membuat semangat rakyat Betawi bergelora dan bangkit melawan.

Berhembusnya kisah ilmu kanuragan si Pitung yang mempunyai ilmu rawe rontek pun sebenarnya adalah mab'u (dibiarkan) dari kalangan kumpulan ustadz di Pesantren yang dipimpin kyai haji Naipin dimana dalam musyawarah mereka ada kabar bahwa si Pitung digosipkan memliki ilmu rawe rontek yang tak pernah sekalipun diajarkan oleh pesantren. Gosip ini disebarkan justru dari para jawara-jawara lainnya yang pernah jadi santri dan belajar silat di pesantren yang terletak di Rawabelong itu.

Sebenarnya si Pitung adalah kumpulan siswa santri yang sangat disiplin dan rajin melakukan ibadah sholat berjama'ah dan tentunya berpuasa. Bukan hanya berpuasa wajib di bulan Ramadhan, tapi juga berpuasa Senin Kamis dan puasa pertengahan bulan hijriyah tanggal 13, 14 dan 15 setiap bulannya. Bahkan ada pula yang menyebutkan para penyandang gelar nama sandi Pitung ini adalah anak pesantren yang sholeh dan rajin puasa Nabi Daud, yakni sehari puasa, sehari tidak.

Namun entah bagaimana bermula, di luaran berita yang didengar oleh sebagian murid perguruan silat dan juga pesantren di Rawabelong ini mengatakan bahwa si Pitung harus berpuasa 40 hari penuh di siang harinya untuk mendapatkan ilmu kekebalan dan kesaktian Rawe Rontek, yang artinya si pemilik ilmu kebal anti abcok dan anti peluru yang tak bisa diturunkan kepada anak ini, kecuali dipelajari dan dilakoni ritualnya.

Padahal sejatinya yang terjadi adalah sebagai berikut, dan ini juga merupakan rasionalisasi dari apa yang menjadi legenda saat itu.

Dari ketujuh pendekar mujahidin yang sholeh ini, menyebar ke seluruh penjuru Batavia, dan kesemuanya diwajibkan untuk mengajarkan ngaji kepada warga Betawi yang buta huruf dan juga diwajibkan berdakwah dengan harta, jiwa raga dan kekuatan bila diperlukan.

Dan setiap murid pengajian yang mendapatkan bimbingan ilmu Al-Quran dan juga ilmu beladiri silat ini dibolehkan mempraktekkan ilmunya demi membela kebenaran. Namun dimulai dari salah satu tokoh muda yang juga akhirnya berani menggunakan nama si Pitung satu ketika melihat rakyat kecil yang dianiaya oleh opan VOC Belanda, dan dia membantu serta melumpuhkan si opas yang terdiri dari beberapa orang itu dengan satu dua jurus, maka kehebohan ini pun dimulai. Maka nama si Pitung mulai dikenal banyak orang Betawi di kalangan rakyat termasuk para opas VOC. Kejadian seperti ini sebenarnya sangat ditentang oleh kyai haji Naipin. Namun terlambat Pemerintahan Belanda terlanjur sudah memberikan propaganda bahwa Pitung adalah frijman alias preman yang mengganggu ketertiban umum dan merongrong kewibawaan gubermen VOC.

Pada mulanya memang Kyai haji Naipin murka, namun setelah salah seorang orangtua tokoh Pitung yang paling dituakan memberikan saran, bahwa hal ini tidaklah perlu dikuatirkan karena tidak semua anak didik pesantrennya sembrono, bahkan kebanyakan dari mereka dikenal sangat santun dan lemah lembut dalam kesahariannya. Jadi hal ini tak akan mungkin mengundang kecurigaan penguasa VOC.

Namun entah bagaimana, tindakan perlawanan seorang mujahidin dengan nama sandi si Pituan Pituling alias Pitung ini mulai bertambah nekad, bahkan ada beberapa kejadian di luar Rawabelong, bahwa Pitung melakukan perampokan dan perampasan harta para demang perwakilan penguasa Belanda, dimana para centeng jawara tak sanggup mencegah menghadapinya.

Isyu dan gosip pun berkembang, bahwa Si Pitung tidak memapn dibacok dan terlalu sakti untuk dilawan para centeng dan jawara yang bekerja pada VOC dan para demang anjing penjilat penjajah. Padahal dalam setiap kejadian pertempuran, tidak sedikit Pitung terluka, namun krena aksi heroik dan mental kesabaran yang luar biasa tinggi serta semangat menolong rakyat kecil, hal ini tidak bisa dimengerti oleh para centeng dan jawara yang kalah bertempur dengan si Pitung.

Akhirnya kejadian [un semakin sering dalam waktu yang relatif bersamaan, sehingga mucullah isyu bahwa si Pitung memiliki ilmu sirep dan menghilang yang tak bisa dilihat oleh manusia biasa. Hal ini pun bisa dimaklumi, karena ada 7 orang Pitung yang bergerak secara bersamaan dan  belum ada teknologi canggih seperti sekarang ini, maka media cerita dari mulut ke mulut saja yang menjadi sumber satu-satunya referensi kehebatan sepak terjang si Pitung.

Apalagi dengan bumbu-bumbu cerita para centeng dan jawara yang berhasil  dikalahkan oleh si Pitung dengan tidak mudah dan perjuangan yang berdarah-darah, membuat isyu semakin merebak dan heboh. Padahal, insiden itu hanyalah karena kegagalan dan ketakutan sang jawara dan centeng yang terkalahkan. Akhirnya menebar virus ketakutan yang tidak menguntungkan bagi pihak VOC.

Jadilah sosok si Pitung berubah menjadi mengerikan bagi para demang dan opas Belanda apalagi dengan penggambaran ilmu rawe rontek. Suasana pun menjadi mistis bagi mereka yang kurang informasi dan kurang ilmu. Si Pitung sakti mandraguna, punya ilmu kebal dibacok, kebal peluru dan hanya bisa dibunuh dengan peluru perak kemudian dibelah badannya serta dipenggal dan dipisahkan.

Sejatinya istilah terminologi dibelah dan dipisahkan adalah nasihat sang kyai kepada para muridnya secara keseluruhan, bukan hanya mereka yang mendapat tugas berdakwah dengan nama sandi Pitung, sang Pituan Pitulung. Semua murid dan santri yang belajar mengaji serta ilmu beladiri mendapatkan pesan yang serupa, "Kalian semua tak bisa dikalahkan kecuali dengan memecah belah kalian. Musuh yang sanggup membelah diri kalian menjadi terpisah sajalah yang dapat menghancurkan dan membunah kalian semua."

Nah pesan itu tidak ditangkap dengan hikmah dan secara sama oleh setiap murid. Ada sebagian kecil yang akhirnya ketika dewasa menjadi centeng dan jawara, yang masih ingat petuah sang kyai, namun salah mentafsirkannya dengan mengatakan kepada pihak penguasa Belanda, bahwa si Pitung hanya bisa dikalahkan jika sudah dibelah dan dipisahkan antara kepalanya dari tubuh dan anggota tubuh lainnya. Itulah sebanya dengan pengkhianatan seorang centeng yang paling jago namun kalah bertarung dengan si Pitung, karena sifat pengecutnya di mengusulkan untuk menangkap H.Piun selaku orang tua Pitung murid kesayangan K.H.Naipin dan juga sang guru pesantren.

Peristiwa penangkapan Piun dan H. Naipin itupun disebarkan melalui berita dari mulut ke mulut pada masa itu, sehingga tidak mustahil dari ketujuh orang bernama sandi Pitung, mungkin beberapa yang sangat terkejut dan hendak pulang ke Rawabelong untuk membebaskan sang ayah dan gurunya. Di sinilah kisah Pitung segera datang disusul oleh si Pitung kedua alias Ji'ih untuk menyerahkan dirinya kepada VOC sebagai tebusan agar orangtuanya Piun dan gurunya Haji Naipin dibebaskan. Tragis dan dramatik sekali bagaimana bang Pitung ditembak mati dan anggota tubuhnya dibelah serta kepalanya dipenggal karena fitnah dan kekejian VOC yang dikompori oleh para centeng jawara demi dendam mereka kepadanya.

Barulah berikutnya aksi si Ji'ih yang menghancurkan dan meluluhlantakkan markas VOC di Rawabelong sehingga memicu tindakan serupa dari si Pitung lainnya yang tersisa hingga merusak kewibawaan pemerintah Hindia Belanda di mata rakyat Betawi dan mengakibatkan banyak pemberontakan hingga masa perjuangan diplomatis Husni Thamrin dan Bung Karno.

Sungguh kisah ini sangat mengharukan dan mencerahkan serta penuh dengan aksi bertarung yang luar biasa. Bercampurnya kesalahpahaman dan menjadi isyu mistik yang sebenarnya tak pernah ada, kecuali hanya pelintiran cerita mulut ke mulut. Kita jadi semakin paham betapa kebenaran mempunyai caranya sendiri untuk bertahan dan memberikan kita pelajaran berharga.

Iko Uwais - Yayan Ruhiyan - CecepArif Rahman
Bisakah Anda bayangkan betapa seru dan hebohnya cerita ini, bahkan mungkin jauh lebih heboh dari the Raid 1 maupun the Raid 2 yang sudah duluan beredar. Apalagi bintang Iko Uwais dan Yayan ruhian akan berperan berbarengan sebagai Pitung dan Ji'ih yang membalaskan kekejaman para penjajah dan begundalnya.

Uniknya adalah yang berperan sebagai Bang Pitung adalah Yayan Ruhian dan yang jadi Ji'ih adalah Iko Uwais. Kemudian peran antagonis sebagai salah satu centeng jawara, siapa lagi kalau bukan Cecep Arif RAhman yang berperan jadi musuh pertarungan IkoUwais dalam the Raid 2, the Berandal.

Cerita tentunya jadi semakin seru, jika diperankan oleh para komedian seperti DAvid Nurbianto, kemudian juga Afif Xavi dan tentunya para komika serta tokoh Betawi asli yang berperan seperti Ridwan Saidi, Dzan FAridz, Muhammad Rifki (Eki Pitung) atau bahkan Haji Lulung serta tokoh lainnya dengan besutan sutradara bertangan dingin, Gareth Evans yang akan menyitradai mereka sebagai tokoh-tokoh penting dari film kolosal bernuansa komedi aksi ini. Kita lihat saja nanti tanggal mainnya.

Si PITUNG dan DJI'IH Dipenjara di BALI MESTER?

Minggu, 19 April 2015

Kutipan berita dari harian Belanda Bintang Barat yang mengatakan bahwa di penjara Bali Meester atau yang sekarang dikenal dengan nama Jatinegara (perlu diteliti apakah ada penjara di kawasan Jatinegara atau apakah yang dimaksud adalah penjara Cipinang yang juga masuk kawasan Bali Meester pada zaman VOC?), disebut nama Pitung dan Ji'ih dalam artikel beritanya, seperti berikut:

Kelamaren Toean resident besar sendiri soedah pergi pereksa roema boei di Meester Cornelis dari mana doea orang hoekoeman gantoeng soedah lari, ija itoe pemboenoe jang paling djahat Pitoeng dan Dji-ie, doea-doea-nja asal dari Bekassie. Tapi tiada oroeng policie nanti dapet tangkap pada dia orang, sebab Toean resident soedah djanji oepah f 300 kepada siapa jang bisa tangal dia orang hidoep ataoe mati. Bintang Barat, 21 April 1893
sumber: Kompasiana.Irvan

Permasalahannya, bagaimana si Pitung bisa lepas dari hukuman mati yang menunggu? Dan bagaimana caranya si Pitung bersama Ji'ih bisa kabur dari penjara Bali Meester pada saat itu. Beberapa sumber berita menuliskan si Pitung dibebaskan oleh sang kepala penjara, tapi akhirnya diselidiki langsung oleh pejabat karesidenan Bali Meeter, yang mendapat pengakuan dari pejabat sipir penjara tidak melepaskan si Pitung ataupun membantu Pitung untuk kabur.

Didapat fakta bahwa seorang panjaga penjara memberikan belencong (sejenis linggis) untuk membongkar penjara, dan di lain tulisan dikatakan si Pitung dan Ji'ih berhasil kabur karena diberi tali oleh penjaga penjara yang entah kenapa mau membantu mereka. Wallahu a'lam bi showab, saya masih dalam penyelidikan setiap kasus dan sumber berita dengan rujukan pustaka yang ada, kalau perlu saya akan ke Malaysia, Singapura dan belanda untuk mendapatkannya. Semoga allah mengabulkan keinginan saya.

Namun alangkah adilnya jika kita juga perlu tahu sejarah tentang penjara 'bali meester, atau yang sekrang dikenal dengan Jatinegara, sebuah kawasan yang ditemukan oleh Meester Cornelis. Berikut artikelnya.

SEJARAH BALI MEESTER, JATINEGARA
Tempat ini pada awalnya ditemukan oleh Meester Cornelis Senen, seorang "proponent" atau guru Injil yang berasal dari Pulau Banda. Karena intrik-intrik terhadap dirinya maka dia tidak sampai diangkat menjadipridikant atau rohaniawan yang mempunyai wewenang berkhotbah. Oleh sebab itu Meester Cornelis dan orang-orang bawahannya mengolah sebidang tanah di hutan tersebut. Salah satu bukti tertulis mengenai keberadaan Meester Cornelis dapat diketahui dari catatan harian VOC yang disebutDagregister tertanggal 13 Desember 1656.

Setelah bertahun-tahun mengelola hutan, ia meminta izin kepada Kompeni dan ia peroleh tanggal 7 November 1661. Tahun itu juga dia meninggal dunia dan meninggalkan seorang anak laki-laki bernama Zacharias Senen. Batas-batas tanah Mr. Cornelis dapat dilihat pada surat pembelian tanah tersebut yang tertanggal 14 Juni 1673, yaitu : Batas di barat ialah Tjiliwung dan tanah tersebut meliputi 2 buah eylantjis yang tidak diartikan Pulau melainkanSemenandjung yang terbentuk karena liku-liku Tjiliwung. Batas timur tanah Meester Cornelis merupakan sebuah jalan yang sejajar dengan aliran sungai. Jalan tersebut berliku-liku, dan di musim hujan licin seperti sawah sedang digarap. Daerah ini selanjutnya dikenal dengan Jalan Jatinegara Barat. Mengenai dua semenanjung tersebut dapat dilihat pada perkembangan berikutnya dengan adanya Kampung Pulo yang terletak di atas suatu semenanjung, demikian pula Kampung-kampung Kebon Pala dan Tanah rendah yang terletak di semenanjung lainnya. Dari catatan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa tanah Meester Cornelis letaknya kira-kira sama dengan wilayah Kelurahan Kampung Melayu.

Menurut sebuah peta tahun 1811, jalan ke arah Kerawang menyimpang dan Pasar Lama (sekarang) dan ketika itu di sana berdiri satu-satunya pasar diMeester. Sekitar tempat penjara wanita dan gedung tua tersebut, berdiri pulabenteng lama Mr. Cornelis. Dan Pasar Lama ke arah Selatan, di sebelah kanan jalan dijumpai sebuah gedung Kantor DPU. Tahun 1811, sewaktu Belanda mempertahankan diri terhadap serbuan tentara Inggris, gedung tersebut merupakan Markas Belanda. Jl. Jatinegara Timur ketika itu belum ada, sedangkan yang sudah ada Jl. Pedati dan Jl. Melaju Besar. Batas timur pertahanan Belanda dalam peperangan itu disebut Oosterslokkan, dahulu merupakan parit yang dalam. Parit ini mulai digali dipedesaan, atas perintah Aria Kampung Baru (sekarang Kota Bogor) sekitar tahun 1700 yang dimaksudkan untuk keperluan pengairan.

Perkembangan selanjutnya selokan ini amat dangkal bahkan hampir kering dan mengalir sejajar dengan Jl. Otto Iskandardinata serta Jl. Jatinegara Timur. Mester bertambah besar dan dalam tahun 1850 didirikan sebuah sekolah tukang memperbaiki senapan. Tahun 1857 didirikan pula sebuah sekolah dasar untuk anak-anak Belanda dan Indo. Tahun 1773 didirikan sebuah pasar di pinggir Timur Mester yang dikenal dengan Pasar Kemis, karena pada hari itulah banyak orang berjual-beli terutama buah-buahan dan bahan pangan lainnya. Menurut tulisan seorang Belanda ratusan tahun yang lalu, daerah pasar itu terdiri dari sejumlah bangunan dari batu bergaya Cina dan gedek yang didiami pedagang-pedagang Cina dan Indonesia: Relatif banyaknya penduduk Tionghoa di Mester terlihat dengan adanya 2 orang Letnan Cina. Di Pasar Kemis diselenggarakan pula tari tjokek, diperkirakan dengan cara inilah kemudian orang Cina mengucap perkataan Djoget. Acara ini selain banyak dikerumuni orang, sering juga terjadi perkelahian di antara kaum laki-laki yang bergantian menari bersama tjokek.

Jl. Jatinegara Barat kemudian menjadi batas antara kelurahan Kampung Melaju dan Kelurahan Bali Mester. "Bali Mester" atau Kampung Bali Mester merupakan sebutan untuk membedakan kampung tersebut dengan kampung-kampung Bali lainnya di Jakarta, karena pada awalnya merupakan sebuah perkampungan yang dikepalai oleh Ida Gede Babadan. Abad-abad sebelumnya memang cukup banyak orang Bali yang tinggal di Batavia dan sekitarnya, yang dalam perkembangannya bercampur baur dengan suku-suku atau bangsa lainnya dan menjadi "orang Betawi."

Sejarah Raja Ali Hajji Fi Sabilillaah

Selasa, 26 Agustus 2014

Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad atau cukup dengan nama pena-nya Raja Ali Haji (lahir di Selangor, ca. 1808 - meninggal di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, ca. 1873, masih diperdebatkan) adalah ulama, sejarawan, dan pujangga abad 19 keturunan Bugis dan Melayu. [1] Dia terkenal sebagai pencatat pertama dasar-dasar tata bahasa Melayu lewat buku Pedoman Bahasa; buku yang menjadi standar bahasa Melayu. Bahasa Melayu standar itulah yang dalam Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 ditetapkan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia. Ia merupakan keturunan kedua (cucu) dari Raja Haji Fisabilillah, Yang Dipertuan Muda IV dari Kesultanan Lingga-Riau dan juga merupakan bangsawan Bugis.

Mahakaryanya, Gurindam Dua Belas (1847), menjadi pembaru arus sastra pada zamannya. Bukunya berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Loghat Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga penggal yang pertama, merupakan kamus ekabahasa pertama di Nusantara. Ia juga menulis Syair Siti Shianah, Syair Suluh Pegawai, Syair Hukum Nikah, dan Syair Sultan Abdul Muluk. Raja Ali Haji juga patut diangkat jasanya dalam penulisan sejarah Melayu. Buku berjudul Tuhfat al-Nafis ("Bingkisan Berharga" tentang sejarah Melayu), walaupun dari segi penulisan sejarah sangat lemah karena tidak mencantumkan sumber dan tahunnya, dapat dibilang menggambarkan peristiwa-peristiwa secara lengkap. Meskipun sebagian pihak berpendapat Tuhfat dikarang terlebih dahulu oleh ayahnya yang juga sastrawan, Raja Ahmad. Raji Ali Haji hanya meneruskan apa yang telah dimulai ayahnya. Dalam bidang ketatanegaraan dan hukum, Raja Ali Haji pun menulis Mukaddimah fi Intizam (hukum dan politik). Ia juga aktif sebagai penasihat kerajaan.

Ia ditetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai pahlawan nasional pada 5 November 2004.
SILSILAH RAJA ALI HAJI
Ada sekian banyak tulisan yang merancukan tokoh Raja Ali Haji dengan Raja Haji, dengan Raja Ali Yang Dipertuan Muda Riau VIII, dengan Raja Ali Kelana. Padahal kerancuan sederhana seperti itu sebenarnya sama sekali tidak perlu terjadi apabila orang dituntun untuk memahami kebudayaan Melayu.

Cukup banyak nama Ali dalam runtunan peristiwa penting di Riau. Ini sering menjadi punca kerancuan bagi orang-orang yang kurang teliti mengikuti peristiwa tersebut. Selain Ali bin Raja Ahmad atau Raja Ali Haji, ada Ali Yang Dipertuan Muda Riau V (1784 – 1806) yaitu Raja Ali Ibni Daeng Kamboja, ada Ali yang menjadi Yang Dipertuan Muda Riau VIII (1845 – 1857) yaitu Raja Ali bin Raja Ja’far, ada Ali yang menjadi Kelana terakhir pada Kerajaan Riau Lingga yaitu Raja Ali Kelana atau dikenal juga dengan nama Raja Haji Ali bin Ahmadi.

Berdasarkan karya-karya yang dapat dikumpulkan dan dikenal baik secara luas atau secara terbatas, dapatlah dibuat ranji silsilah raja-raja Riau yang mempunyai hubungan kekeluargaan yang rapat dengan Raja Ali Haji :
Raja Haji Fisabilillah memiliki 2 orang anak yakni Raja Ahmad Engku Haji Tua dan Raja Ja'far. Anak Raja Ahmad Engku Haji Tua adalah Raja Abdul Hamid dan Raja Ali Haji. Anak Raja Ja'far adalah Raja Ali dan Raja Abdullah. Anak Raja Abdul Hamid adalah Raja Abdul Mutalib. Anak Raja Ali bin Raja Ja'far adalah Raja Muhammad Yusuf al Ahmadi. Anak Raja Abdullah adalah Raja Muhammad Tahir. Anak Raja Muhammad Yusuf al Ahmadi adalah Raja Ali Kelana. Anak Raja Muhammad Tahir adalah Badriah M. Tahir dan R.H.M. Said.
Berdasarkan ranji di atas, Raja Ali Haji adalah cucu dari Raja Haji. Ali adalah nama sebenar dari Raja Ali Haji. Dalam buku-buku lama, nama Raja Ali Haji dikenal pula sebagai Raja Ali Al-Hajj, Raja Ali ibni Raja Haji Ahmad, dan Al-Hajj Ali ibni Ahmad Al-Riauwiyah. Bila kita merujuk pada istilah sekarang, nama Raja Ali Haji adalah Haji Raja Ali.

Raja Ali Haji adalah Raja Ali Al-Hajj ibni Raja Ahmad Al-Hajj ibni Raja Haji Fisabilillah atau Engku Haji Ali Ibni Engku Haji Ahmad Riau. Dilahirkan di akhir tahun 1808 di Pulau Penyengat. Ayahnya bernama Raja Ahmad dan ibunya bernama Encik Hamidah binti Panglima Malik Selangor.

Raja Ali Haji tokoh terkenal dan dihormati dalam sejarah kehidupannya. Pada tahun 1868, utusan Abu Bakar dikirimkan menemui Raja Ali Haji sebab dia “seorang raja yang tua lagi berilmu”. Raja Ali Haji boleh dikatakan mewakili golongan elit Riau. Dia keturunan Bugis-Melayu dan cucu Raja Haji (syahid 1784). Beberapa kali berkunjung ke Pulau Pinang, Timur Tengah, Betawi, dan Singapura bersama ayahnya. Dia mendapat didikan yang baik dalam bahasa Melayu maupun bahasa Arab dan bercampur gaul dengan orang pintar dan sarjana-sarjana Belanda. Pada akhir abad ke-19 dia dijadikan sebagai contoh teladan masyarakat.

Raja Ali Haji adalah sarjana bahasa Arab dan dia tentu mengetahui bahwa sejarah dianggap sebagai pelajaran ilmiah oleh ulama. Raja Ali Haji mengajar bahasa Arab, ushuluddin, fiqh, tasawwuf. Salah seorang muridnya ialah saudara sepupunya yang bernama Raja Abdullah (kemudian menjadi Yamtuan Muda). Dalam setiap karyanya tampak sekali pemikiran-pemikirannya di bidang keagamaan. Hal ini disebabkan karena Raja Ali Haji, menurut Hasan Junus, “sebagai ulama-pengarang dan pengarang-ulama, sumber rujukannya al-Quran dan al-Hadist”.

Raja Ali Haji adalah seorang sastrawan, sejarawan, budayawan, ulama, dan pemikir politik. Raja Ali Haji telah mengarang berbagai Kitab, meliputi bahasa, sastra, sejarah, hukum, dan agama.

Sumber :  
http://id.wikipedia.org/wiki/Ali_Haji_bin_Raja_Haji_Ahmad
http://syamsulhendry.blogspot.com/2013/03/raja-ali-haji-cucu-raja-haji.html
http://www.rajaalihaji.com/id/biography.php

FORMULIR KEMITRAAN

Klik di sini untuk pengisian formulir kemitraan usaha waralaba
Kotak Makanan Lunch Box dan Kardus Packing

Popular Posts

 
Support : Webrizal | Tutorial | My Opini
Copyright © 2009-2021. RUBY Digital Printing Pesan Jemput Antar 081385386583 - All Rights Reserved
Template Recreated by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger